My quote

"life is searched by you, you is searching your life"

Thursday, March 10, 2011

titik.

Berbekal ketidaktanggungjawaban saya dalam mengerjakan tugas akhirnya saya ngacir kesini~ :D

Jadi bingung mau nulis apa,

Selama seminggu ini kuhabiskan sisa liburanku di rumah, bener-bener di rumah, tidak ada kata jalan-jalan walaupun di sekitar rumah. Hm, lumayan bosen tapi gapapa sih, (upaya untuk menambah berat badan juga nih), dan yah selama di rumah aku hanya menjalani tugasku sebagai anak yang baik dan pengertian *?* dan sebagai siswi yang seenggaknya taat kepada sekolah -.- (mengerjakan tugas)
so, this is my life..

Aku ingin sesuatu yang tak ada
Itu mustahil bukan?
Lalu bagaimana dengan teori ketidakmustahilan itu?
Ah munafik
Kau tidak tahu aku, ya jangan sok tahu
Memangnya aku ini dijadikan uji coba ke-sok tahu-an kamu?
Haha, emang gak bisa dipungkiri sih
Luarnya saja yang terlihat dan selalu dipandang
Dalamnya tuh bodo amat
Yang penting gue udah nemuin luarnya yang cocok buat gue
Belakangan lah urusan yang lain
Hah, apaan tuh, gak logis pemikirannya
Kenapa gak dibalik aja
emang kalau lu itu tau kalo ternyata jelek, mau lu apain?
di bongkar pasang?
emang gue mainan bongkar pasang yang digemari anak-anak apa?
gue bukan barang murahan yang bisa di bongkar pasang sesenang hati
mau jadi apa sih lu?

(ngelantur, lagi sensi)
curhatan gaje~

feel free to comment it~ :D

Tuesday, March 1, 2011

Love Life is Like a Long Thread(3)

Cerita sebelumnya : Love life is like a long thread(2)


(AIKO)
Aku kembali menuju kelas karena ada buku yang tertinggal di loker. Buku itu sangat berharga mengingat beberapa waktu lalu dosen menyuruh mahasiswanya untuk mengerjakan tugas yang diberikan, kebanyakan caranya ada di buku itu. Aku juga sempat berbincang lama dengan Lucy, yang ternyata ia masih di kelas alias belum pulang.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Langit telah menunjukkan warna kemerahan yang sebentar lagi akan berubah gelap. Aku pun menyegerakan pulang dengan Lucy.
Sepertinya cuaca sedang tidak bersahabat denganku. Tak lama setelah Lucy pergi meninggalkanku di sebuah halte bis,yang tak jauh dari kampus,seketika hujan deras. Aku pun mencari payung di tasku namun ternyata tertinggal di rumah. Sial, bagaimana aku bisa pulang dengan cuaca hujan deras ini?
(ARISA)
Aku dan Yuma masih berbincang sepulang kuliah mengingat aku sudah lama sekali tidak bertemu dengannya, aku, notabene adalah sahabat dia, sangat ingin menceritakan hal-hal yang sudah kulalui. Yuma adalah laki-laki paling pengertian yang pernah aku temui, setelah Ryosuke.
Seperti biasa yang sudah-sudah, aku menjadi pembicara sedangkan Yuma sebagai pendengar. Dia sangat setia mendengarkan ocehanku yang panjang sekali, tanpa titik dan koma. Heran, ia kok betah yah menjadi seperti ini, padahal ia tipe laki-laki pengertian, mengapa jarang sekali perempuan yang ingin mendekatinya?
Kembali ke topik. Aku sama sekali tidak pernah melihat wajah mengeluh Yuma saat ia mendengarkan pembicaraanku atau memberikan komentar(yang terkadang pernyataanku tidak sudi untuk dikomentari).
Tak lama, Ryosuke datang menghampiri dengan wajah kesal.
(AIKO)
Bagaimana ini? Aku sudah 1 jam menunggu disini namun hujan masih deras juga? Aku tak berani menelepon bibiku untuk menjemputku karena aku tak ingin merepotkannya. Aku berpikir tentang solusi dari semua ini. Aku tidak mau dengan keterlambatanku sampai rumah mempengaruhi kualitas tugasku. Tak lama, sebuah mobil sedan bermerk Honda itu datang mendekat.
Terlihat seseorang memakai topi dan t-shirt di dalam mobil tersebut. Ia pun membuka jendela mobil dengan kunci otomatis.
“Hei kau, ikut denganku saja.” Katanya. Awalnya aku tidak mengenalinya tapi setelah ia membuka topi, aku sangat mengenalinya.
“Ahh, tapi, apa tidak merepotkanmu?” tanyaku dengan volume suaraku dikeraskan sedikit agar terdengar. Suasana disini sangat ramai dengan gemericik air hujan.
“Tidak apa-apa, daripada kau sakit, ayo masuk.” Katanya. Akhirnya aku pun mengalah dan masuk ke dalam mobil.
“Hmm, sebelumnya makasih yah.” Kataku.
“Ohh ya gapapa, sama-sama. Entah mengapa aku merasa kasihan saja melihat perempuan di halte bis, sendirian, dan hujan deras pula.” Katanya. Mukaku sedikit memerah.
“Makasih yah.” Kataku. Jujur, aku kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan Yuto tadi. Baru saja aku berkenalan dengan laki-laki ini dan tampaknya kami langsung dekat karena kebaikannya.
(ARISA)
“Ris, ayo ikut aku sebentar.” Kata Ryosuke, menarik tanganku.Aku pun berpamitan dengan Yuma, ia hanya tersenyum.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kamu ini.. sudah berkali-kali aku kirim pesan tapi mengapa tidak kau balas?” tanyanya, masih dengan wajah hendak marah.
“Eh? Chotto..” kataku, dan segera memeriksa handphone. Ternyata benar juga, sudah ada 6 pesan dan semuanya berasal dari Ryosuke.
“Eetto, gomennasai.” Kataku membungkukkan sedikit badanku, aku merasa bersalah.
“Ahaha, bercanda kok. Oya kau mau tidak menemaniku jalan?” kata Ryosuke. Hm, padahal aku pacarnya dia, seharusnya ia lebih peka kalau aku dengan senang hati akan menemani dia dan begitupun sebaliknya.
“Boleh kok, kapan? Boleh aku ajak Yuma?” kataku.
“Yuma? Siapa dia?” Tanya Ryosuke, heran karena aku mengatakan seorang nama laki-laki kepadanya.
“Itu, dia sahabatku dari kecil, dan baru bertemu sekarang. Dia penduduk baru disini loh, makanya, untuk mengenalkan kota ini, boleh kan aku ajak dia jalan-jalan, juga?” kataku, dengan agak hati-hati aku mengatakannya.
“Ohh, boleh kok, dengan senang hati.” Kata Ryosuke, aku pun tersenyum dan menggandeng tangan Ryosuke untuk pergi dari tempat itu.
(AIKO)
Hmm, orang itu baik sekali mau mengantarku sampai rumah, padahal aku baru pertama kali kenal dan jumpa dengannya, mengapa dia terlalu baik kepadaku? Batinku. Jujur, ini pertama kalinya aku melihat dan merasakan kehangatan seorang laki-laki yang baru kukenal, (padahal aku merasa saat pertama kali aku bertemu Ryosuke, ia tidak menunjukkan kehangatan seperti itu). Aku masih terbayang kejadian tadi siang, sore dan malam ini. Yuto berbincang-bincang denganku disini hingga larut yang kemudian aku pun menyuruh dia pulang. Apa mungkin aku suka dengannya?
(ARISA)
“Okee, sekarang kita akan kemana Ryosuke kun?” kataku, sambil memandang Ryosuke yang berada disebelahku.
“Ahh, apa aku tidak mengganggu acara kalian?” Tanya Yuma. Mungkin ia merasa tidak enak dengan kami.
“Hm, gapapa kok, supaya kamu tak jenuh di rumah.” Jawab Ryosuke singkat. Kelihatannya ia sedang memikirkan sesuatu.
“Jadi, kita akan pergi kemana dulu?” tanyaku, lagi.
“Aku ingin membeli kado untuk nee-san, ikku.” Kata Ryosuke sambil menarik tanganku, diikuti oleh Yuma. Dan kami pun menikmati acara hari ini.
(AIKO)
Kejadian manis itu selalu berulang, ketika suatu hari..
Aku pulang dengan langkah malas. Sudah ketiga kalinya tugasku ditolak oleh dosen karena masih belum lengkap(sebenarnya aku bingung dengan keinginan dosen yang kuanggap itu aneh). Sialnya, hari ini aku ada janji dengan bibiku untuk menemaninya, sedangkan tugasku belum selesai kukerjakan. Harus bagaimana aku?
Aku tidak tahu persimpangan ini merupakan persimpangan untuk kumpulan laki-laki iseng. Aku berusaha fokus ke depan dan berjalan tegap agar aku menghiraukan gurauan sekumpulan laki-laki itu. Hingga suatu ketika sekumpulan laki-laki itu menghadangku.
“Halo cewek manis, kau mau pergi kemana sayang? Sudah tidak ada tempat untukmu pergi.” Kata laki-laki yang kupikir dia itu ketua geng tersebut. Kunamakan laki-laki I
“Iya, sebaiknya kau ikut kami saja, pergi bersenang-senang.” Kata laki-laki II. Aku segera mencari akal untuk bisa pergi, namun mereka semakin mendekat.
“Ayo cewek manis, ikut kami saja.” Kata laki-laki III melebarkan tangannya kepadaku.
“Tidak mau!” kataku, menampar tangan laki-laki III itu.
Mereka terus mendekat hingga ada seorang yang memegang pinggangku.
“Kau mau pergi kemana? Sudah tidak ada tempat untukmu lari, dan kau, sudah ada di genggaman kami. Hahahahaha.” Kata laki-laki IV, tertawa, disusul dengan kawan-kawannya yang lain. Kakiku gemetar, aku tidak tahu harus berbuat apa selain berdoa, mudah-mudahan tuhan memberikanku jalan yang terbaik.
Aku tidak bisa berbuat apapun karena tanganku sudah dicengkram dengan keras oleh 2 pria berbadan besar, aku merasa kesakitan. Laki-laki I membelai rambutku, aku mulai meronta-ronta karena aku tidak mau dipegang oleh siapapun. Lalu, laki-laki II mulai memegang pipiku dan membelainya. Ia tertawa puas sementara aku merasa tertekan. Sebelum laki-laki III memegang yang tidak k diperbolehkan(disana aku seperti perempuan kesetanan saking tidak tahan melihat sikap mereka yang semena-mena terhadapku), datanglah seorang laki-laki yang langsung menghajar muka laki-laki III. Merasa tidak diterima, laki-laki III itu menghajar kembali. Pertarungan pun terjadi.
20 menit kemudian berlalu, laki-laki penyelamat itu berhasil menyelamatkanku. Tubuhku terlalu lemah untuk menjelaskan semuanya yang tiba-tiba semua berubah hitam.
(ARISA)
Kami(aku, Ryosuke dan Yuma) sudah merasa sangat lelah berjalan, sebenarnya mengelilingi Shibuya yang hari ini padat dikunjungi orang. Hari yang menjelang sore juga membuat moodku berubah. Aku hanya lebih banyak diam dan terkesan cuek. Ryosuke hanya memperhatikan sekitar kalau-kalau ada baju yang cocok untuknya sedangkan Yuma berjalan dengan dinginnya sambil menikmati hiruk pikuk daerah Shibuya.Kami berjalan menyusuri pertokoan hingga langkah kami terhenti di sebuah café untuk beristirahat.
“Kau akan pesan apa?” Tanya Ryosuke kepadaku dan Yuma. Aku mengangkat pundakku menandakan terserah sedangkan Yuma hanya mengatakan “aku ingin softdrink saja.”
Kami menikmati pesanan dalam diam. Tak banyak bicara seperti awal kami akan jalan-jalan. Aku pun membuka suara.
“Habis ini kalian ingin kemana?” tanyaku, menatap Ryosuke dan Yuma.
“Hm, gak tau.” Kata Yuma singkat.
“Bagaimana kalau kita nonton saja? Sudah lama sekali aku tidak menonton di bioskop.” Kata Ryosuke mengajukan usul. Hm, sepertinya menarik usulan Ryosuke itu.
“Aku sih ingin-ingin saja, kalau Yuma mau tidak ikut?” kataku, menanyakan pada Yuma.
“Boleh saja, aku juga ingin kesana.”
Setelah menghabiskan pesanan, kami langsung pergi ke bioskop untuk menikmati film. Banyak sekali orang-orang yang sedang mengantri untuk mendapatkan tiket. Kebanyakan para penikmat film itu adalah pasangan anak muda. Hm, anak muda zaman sekarang. Ahh, untunglah, aku tidak hanya dengan Ryosuke tapi juga dengan Yuma sehingga aku tidak merasa canggung jika berada dekat dengan Ryosuke.
Aku kira Ryosuke membeli film dengan genre petualangan, salah satu genre yang aku sukai, namun ternyata ia membelikan genre horror. Aku tidak suka dengan genre itu. Awalnya aku ingin pulang saja tapi Ryosuke melarangku dan harus ikut bersamanya. Rela tak rela aku pun mengikutinya, dengan sangat terpaksa.
Sepanjang film itu diputar, aku selalu menutup mataku untuk tidak menontonnya. Sesekali mengintip sedikit, tapi tak jarang juga aku kaget karena gambar-gambar hantu itu selalu membuatku kaget.
Lampu-lampu bioskop dinyalakan pertanda film sudah habis. Aku masih dalam keadaan mata tertutup, aku tidak tahu bahwa film itu sudah usai. Ryosuke pun memanggilku.
“Ris, Arisa, filmnya sudah selesai.” Katanya dengan lembut. Perlahan aku membuka mata, kini di depanku terdapat bentuk wajah mirip hantu yang tadi. Spontan aku berteriak hingga bergema.
“AAAH!!! Ampun ampun, saya gak mau liat film itu lagi. Gila! Lama-lama bisa jantungan!” kataku sambil mengelus dada.
Kini terdengar hanya bunyi ketawa Ryosuke yang melihat ekspresiku tadi.
“Hahaha, ini aku, Ryosuke, hei.Ekspresimu membuatku ingin tertawa lagi tau.” Katanya. Aku memandanginya dengan wajah masam.
“Bercanda bercanda. Udah yuk kita pulang. Ayo Yuma.” Kata Ryosuke, menggandenga tanganku dan kami(aku, Ryosuke, Yuma) pergi dari bioskop itu.
(AIKO)
Aku mulai membuka kedua mataku pertanda aku siuman, tapi aku tidak tahu sekarang aku berada dimana. Ruangan ini terlihat putih sekali.
“Syukurlah kau sudah siuman.” Kata Yuto, sambil memegang keningku, menaruhkan termometer di lidahku dan mengecek suhu tubuhku.
“Aku ada dimana sekarang?” tanyaku lemah.
“Kau berada di rumah sakit, untunglah pemuda-pemuda tadi tidak berbuat macam-macam kepadamu.” Kata Yuto, terlihat mengkhawatirkanku. Ya, aku ingat kejadian beberapa waktu lalu. Oh sial, aku tidak mau mengingat-ingat itu lagi, rasanya ingin mati saja.
Aku hanya mengangguk lemah. Dan aku kembali memejamkan mata.
Keesokan paginya…
Jam telah menunjukkan angka delapan bagian Jepang. Aku terbangun. Di sofa besar itu terlihat Yuto sedang berbaring sambil memejamkan mata, dengan terpaan sinar matahari yang hangat itu, membuat wajahnya terlihat kalem, damai dan tenteram. Dia pemuda yang amat baik, mau mengurusiku yang sebenarnya ini bukan kesalahan dia.
Aku beranjak dari tempat tidur, namun tubuhku tidak dapat menahan keseimbangan, akhirnya aku limbung dan terjatuh. Itu membuat Yuto pun terbangun.
“Kau tak apa? Aku bantu kamu berdiri yah.” Dengan sigap Yuto menggendongku untuk naik ke tempat tidur lagi.
“Maaf merepotkanmu, sebenarnya aku bosan sekali hanya berbaring saja…”
“Ohh gitu, baiklah, ayo kita jalan-jalan sebentar, mungkin dengan itu mood-mu akan lebih baik.” Kata Yuto, tersenyum. Tanpa sadar mukaku memerah.
“Boleh boleh.” Kataku. Yuto segera mengambil kursi roda yang ada di lemari dekat kamar mandi dan kami pun berjalan sebentar.
Kami berhenti di sebuah taman rumah sakit. Indah sekali, ditambah dengan udara yang sejuk membuat nyaman taman ini. Kami berbincang-bincang disana dan sesekali tertawa ketika Yuto membuat suatu lawakan. Tanpa sadar aku mulai menyimpan rasa.
“Apakah mood-mu sudah membaik hari ini?” Tanya Yuto, mendorong pelan kursi roda yang kududuki.
“Baik sekali, kapan aku akan pergi dari sini?” tanyaku, terkesan kasar namun aku memang tidak suka dengan suasana berbau obat.
“Mungkin sekitar 2 hari lagi. Tenang saja, ada aku yang mau nemenin kamu.” Kata Yuto sambil membusungkan dada.
“Okee, aku berharap akan lebih cepat keluar maka akan lebih baik.”
(ARISA)
“Kalian kenapa hei. Daritadi diam saja.” Kata Ryosuke, memecah keheningan yang selama ini menghantui suasana dalam mobil Ryosuke.
“Gapapa kok Ryo.” Yuma tersenyum yang dibalas oleh Ryosuke.
Ryosuke pun menyalakan musik di mobil, sehingga ada suara lain yang memecah keheningan.
15 menit kemudian, oh tidak. Itu bereaksi kembali. Aku memegang dadaku yang kini mulai terasa nyeri, rasa yang sudah lama hilang itu muncul kembali. Aku hanya merintih kesakitan. Aku mulai memegang tangan Ryosuke.
“Ada apa Ris?” tanyanya. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ryosuke menghentikan mobilnya dan menyalakan lampu depan.
“Ris, kau kenapa?!” tanyanya, sedikit panik melihatku merintih kesakitan.
“Aku…aku…” kataku dan semua berubah gelap.
(AIKO)
Akhirnya aku bisa keluar dari suasana statis ini. Aku menghirup udara segar karena tak harus berteman dengan hasil rancangan kimia itu. Yuto mengantarkanku sampai ke rumah. Aku merasa senang karena masih ada orang yang mau peduli denganku. Bibi merasa khawatir terhadapku namun Yuto berkata aku akan baik-baik saja. Ah, kata-kata itu terasa menenangkan.
Aku terbangun di sebuah ruangan. Putih. Di tengah terdapat sosok perempuan memakai baju putih panjang. Aku tak tau itu siapa. Karena penasaran, aku berjalan mendekatinya. Kupegang pundaknya, ternyata dia sedang menangis. Dia pun memalingkan mukanya, yang ternyata itu Arisa. Ia berkata “aku sudah tak mampu bertahan, apakah aku masih sanggup berada disini?”. Aku terheran mendengar kata-kata Arisa. Aku hendak menanyakan maksudnya tapi ia sudah menghilang bersama debu putih yang mengelilinginya.
(ARISA)
“Ris..Risa..bangun.” kata Ryosuke mengguncangkan tubuhku, yang menyebabkan aku tersadar.
“Aku…aku dimana?” kataku bersuara lemah. Seperti keadaan di rumah sakit.
“Kau sekarang ada di rumah sakit, kau pingsan tanpa sebab.” Kata Ryosuke, terlihat sangat mengkhawatirkanku.
“Eh??” kataku, berusaha mengingat tapi membuat kepalaku sakit. Ryosuke mengisyaratkanku untuk tidak berpikir lebih keras. Ryosuke membantuku duduk dan memberi segelas air putih.
“Minumlah agar kau terlihat mendingan.” Kata Ryosuke.
“Terima kasih, oya, Yuma mana?” kataku, karena seingatku Yuma bersama kami.
“Ooh, dia sudah pulang duluan, katanya ada urusan mendadak sehingga dia harus pulang ke rumah lebih awal.” Kata Ryosuke, nada bicaranya sedikit aneh, batinku.
Kau itu pendusta handal. Derap kaki seseorang pun mulai lenyap dari sebuah kamar.
(AIKO)
“Aiko san.” Kata Yuto memanggilku saat aku baru sampai di kampus.
“Yah? Ada apa?” tanyaku.
“Kondisimu sudah mendingan?” Tanya Yuto.
“Yah, seperti yang telah kau lihat saat ini, bagaimana?” kataku, sedikit bercanda. Yuto menyenggol lengan kananku sebagai respon.
“Haha, ternyata kau pandai melawak.” Canda Yuto.
“Iya dong, hahahaha, eh, aku ke kelas duluan yah.” Kataku.
Aku pun meninggalkan Yuto, mungkin ia akan ke kelasnya. Ya sudahlah.
-- Penulis tidak sedang dalam keadaan baik --

Mau apa kamu kembali ke dalam kehidupanku? Padahal kamu sudah menemukan kehidupan yang lebih baik disana? Kamu masih memaksakan untuk kembali ke kehidupanku, yang jelas-jelas kehidupan barumu dipastikan akan lebih baik daripada kehidupan lamamu. Tak tahu harus berkata apa, tapi itu memang kenyataan. Buktinya kau lebih diunggulkan daripada dulu. Kau lebih banyak berteori fakta dibanding dulu, berteori tidak tentu arah.
Kau lebih bertingkah peduli sekarang dibandingkan dulu. Apa dulu kau adalah seseorang yang tidak peduli? Atau apakah itu sudah menjadi sifat dasarmu? Kau telah mengalami masa-masa dimana cara berpikirmu berubah.
Aku ikhlas kok menjalani semuanya, sendirian. Aku memang tidak akan sempurna kalau tidak ada kejadian itu, tapi aku akan berusaha sempurna tanpa harus ada kejadian itu. Aku akan menjadi seorang yang diremehkan, mungkin. Tapi, itu akan lebih baik dibandingkan tidak diakui. Aku akan menjalani menjadi seorang yang lebih statis dari ini, tapi itu lebih baik dibandingkan dinamis yang palsu.
Aku memang sangat butuh itu, tapi kalau takdirku memang berkata lain, aku akan ikhlas menerimanya.
Terima kasih atas semua kerjasamanya, yang mau memmbantuku, merawatku dengan susah payah, membangun kepribadianku ini yang makin tak tentu arah menjadi satu arah.
Terima kasih buat semua, walau tidak bersama, tapi tidak akan hilang kok dari catatan perjalanan hidupku di dunia.
Mungkin ini bisa ditanggapi,

Thursday, February 3, 2011

Love life is like long thread (2)

Cerita sebelumnya : +Love life is like long thread (1)+

Kami pun sampai di gedung pesta. Sampai saat ini aku masih tidak tahu sebenarnya Ryosuke mengajakku datang ke pesta siapa. Kami pun masuk. Lampu-lampu yang gemerlapan tersebar dimana-mana. Dengan warna lampu yang tidak terlalu terang membuat pesta terlihat mewah. Dekorasi pesta yang bagus juga memperindah suasana. Makanan dan minuman yang berjejer rapi di atas meja putih panjang, serta karpet merah yang menyusun lantai gedung ini membuatku terpana beberapa saat. Keren dekorasinya!
Ryosuke memperkenalkanku kepada seorang temannya yang ternyata ia yang membuat pesta ini untuk merayakan ulang tahunnya dan keberhasilannya dalam merilis album yang kini albumnya masuk ke nominasi album terlaris di negeri Jepang ini.
Akhirnya kuketahui salah satu teman Ryosuke yang ia perkenalkan bernama Aoi. Perlu kudeskripsikan? Ia mempunyai tinggi 183 cm, berambut pirang asli, gaya rambut harajuku dan berwarna mata kelabu. Awalnya aku mengira ia memakai lensa kontak, namun ia berkata bukan, itu adalah warna asli matanya karena ia menuruni gen ayahnya yang berkewarganegaraan Italia. Keren sekali.
Sesi puncak acara akhirnya tiba. Aoi maju ke panggung, mengucapkan terima kasih karena sudah mau menghadiri pestanya, juga ia menyanyikan salah satu lagu dari album terbarunya. Aku terkagum-kagum karena ia mempunyai suara yang sangat bagus. Juga permainan biolanya yang terlihat sangat professional. Aku sangat senang bisa berkenalan dengannya.
“Sepertinya kau sangat menikmati pesta ini, bagaimana,seru bukan pestanya?” kata Ryosuke, memberikanku segelas minuman.
“Ahaha, makasih yah telah mengajakku datang kemari.” Kataku tersenyum, sambil meminum yang Ryosuke berikan padaku.
“Okee, kau bahkan sampai lupa tentang gerutumu sebelum datang kemari.” Canda Ryosuke. Aku pun teringat, aku pura-pura kesal dengan Ryosuke.
“Ohh iyaiya, aku LUPA.” Kataku. Masih berpura-pura kesal.
“Baru sebentar pesta dimulai, tapi rambutmu sudah terlihat berantakan, sini aku rapihkan.” Kata Ryosuke dan segera merapihkan rambutku. Tumben ia peduli dengan penampilanku?
“Ahh, iyaiya, maaf deh. Lain kali aku bawa sisir biar rambutku terlihat rapih.” Kataku. Namun Ryosuke masih tetap saja merapihkan rambutku.
“Sudah selesai, oya, jangan diberantakin lagi, oke? Ahh, aku mau ke toilet, sebentar saja.” Kata Ryosuke dan lari meninggalkanku. Mungkin ia sudah ingin sekali pergi ke toilet.
Tak terasa kini sudah pukul 10 malam. Aku harus cepat-cepat pulang ke rumah supaya tidak dimarahi oleh mama. Dan, gedung pesta ini sangat jauh dari rumahku, membutuhkan waktu sekitar 40 menit, jadi jika dipikir-pikir aku akan sampai di rumah pukul setengah sebelas. Aku segera meminta Ryosuke untuk mengantarku pulang.
“Sudah larut malam, aku takut dimarahi mama, bagaimana kalau kita pulang sekarang?” kataku, sambil menarik pelan lengan Ryosuke.
“Aoi, pulang duluan yah, makasih hidangannya.” Kata Ryosuke.
“Oke sama-sama, terima kasih telah datang Arisa san.” Kata Aoi tersenyum, aku pun membalasnya dengan senyum. Lalu aku cepat-cepat menarik Ryosuke keluar.
“Tumben di luar dingiin sekali. Brr…” kataku, mendekapkan tanganku dan menggosok pelan. Cuaca malam ini sangatlah dingin, aku tak kuat.
“Ini, pakailah jasku supaya kau tidak kedinginan.” Kata Ryosuke memberiku jas yang ia pakai.
“Kau tidak dingin?” kataku sambil memakai jas yang Ryosuke kasih tadi.
“Ahh tidak, aku kan sudah memakai kemeja dan baju polos di dalam hehe.” Kata Ryosuke, nyengir. Aku tertawa pelan. Baguslah ia sekarang dalam keadaan baik-baik saja, aku tak mau melihatnya terbaring sakit lagi.
“Ayo kita pulang.” Kataku, berjalan menuju parkiran tempat mobil Ryosuke berada. Ryosuke membuka kunci otomatis mobil lalu masuk bersama.
Kami terdiam sepanjang perjalanan, aku sibuk menghangatkan diriku karena terlalu dingin dan Ryosuke sibuk menyetir, menatap jalanan yang lumayan macet saat itu.
“Masih kedinginan?” tanyanya sambil menoleh ke arahku.
“Brr, iya, lumayan.” Kataku, dan aku pun mencoba tidur saat Ryosuke tidak berkata apapun lagi.
(AIKO)
“Ryo..Ryo..Ryosuke!” teriakku. Aku bermimpi buruk tentang Ryosuke, apa maksudnya ini? Aku segera menelepon Ryosuke untuk menanyakan keadaannya. Syukurlah, ia tidak apa-apa.
Pagi hari telah tiba. Aku segera bersiap-siap menuju kampus untuk menuntut ilmu. Juga berkenalan dengan teman-teman baru.
Tidak ada yang spesial mengenai kelasku. Bertempat di tengah gedung fakultas, bernomor 2-B, bercat dinding kuning pucat dengan kursi personal yang berjejer dengan rapi, rak-rak penuh buku yang menghiasi di sudut kelas dan papan tulis besar yang ditempel di dinding kelas. Kelas 2-B dikatakan kelas pintar karena tidak sembarangan mahasiswa mendapatkan kelas ini. Hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu dengan passing grade tes yang termasuk 20 besar yang bisa mendapatkan kelas ini.
Aku berkenalan dengan salah seorang mahasiswi bernama Lucy. Ia senang mengobrol denganku walaupun hari itu adalah hari pertamanya untuk mengajakku mengobrol. Kami berbincang tentang kebiasaan kami masing-masing. Didapatkan olehku bahwa ia adalah orang yang supel, easygoing dan berwawasan luas. Ia berkewarganegaraan Amerika dan Perancis. Ayahnya berasal dari Amerika sedangkan ibunya berasal dari Perancis. Ia juga fasih berbahasa Perancis karena masa SD dan SMP ia habiskan di negeri menara Eiffel itu.
(ARISA)
Seminggu berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa, pengumuman tes universitas itu sudah muncul. Aku segera bersiap-siap pergi ke tempat dimana pengumuman itu akan diumumkan.
“Kau tidak makan dulu Ris?” kata mamaku yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
“Nanti saja Ka-chan, Risa pergi dulu…” kataku, buru-buru menuruni tangga dan berlari menuju pintu keluar rumah.
“Eeh, tunggu dulu.. ini mama bawakan roti selai kesukaanmu.” Kata mamaku, berlari ke arahku yang sedang menali tali sepatu di beranda rumah.
“Ahh iya iya, makasih Ka-chanku tersayang, Risa pergi dulu, bye!” kataku, berlari menuju pagar kemudian berjalan yang tidak terlalu jauh dari rumahku.
Aku memperhatikan satu persatu urutan nomor ujian. 2681.. ah bukan, nomor ujianku masih jauh dari itu. 2864..2867..2870! ah! Ternyata Ryosuke diterima, bagaimana denganku? Aku sudah mulai putus asa mencari nomor ujianku. 2976…2980..2986! ah! Aku..aku.. DITERIMA!
(AIKO)
Aku sedang menikmati waktu istirahatku, tiba-tiba handphoneku berdering. Arisa meneleponku!
“Aiko..aiko, hallo?” kata Arisa kepadaku.
“Iya ini aku, kenapa Arisa?” Tanyaku lembut.
“Aku..aku diterima!” kata Arisa di seberang sana, menunjukkan kebahagiaannya, aku hanya tersenyum yang pastinya tidak akan diketahui Arisa.
“Wah iya? Bagaimana dengan Ryosuke?” Tanyaku.
“Iyaa, dia juga diterima di universitas yang sama, tapi kami berada di fakultas yang berbeda.” Kata Arisa girang sekali kedengarannya.
“Wah? Kapan-kapan aku mau main kesana, boleh kan? Aku bosan disini.” Kataku jujur.
“Pastinya boleh dong, sejak kapan kita putus menjadi sahabat?” Tanya Arisa.
“Ehehehe, benar juga..” kataku. Hubungan kita renggang karena kita menyukai orang yang sama dan itu adalah sahabat kita sendiri!
(ARISA)
“Mana nih nomor ujianku? Katanya diterima?” kata Ryosuke yang baru datang, langsung meghampiri sekumpulan orang yang berdiri di depan papan pengumuman. Aku berada diantara kerumunan orang tersebut. Ryosuke tahu dariku yang baru saja dikirim pesan olehku.
“Hapal gak nomormu? Kalau gak hapal sama aja, kau gak akan tahu kamu diterima atau tidak.” Kataku dingin yang sebenarnya menertawakannya dalam hati.
(AIKO)
Arisa menceritakan keanehan Ryosuke kepadaku. Ia bercerita kalau Ryosuke memberi kotak merah kepada Arisa. Keringat dingin mulai mengucur di dahiku. Tiba-tiba kepalaku terasa pening, rasanya seperti diputar oleh seseorang, yang tanpa sadar aku pingsan seketika.
(ARISA)
Aku membuka kotak yang diberi Ryosuke. Sebuah kotak kecil berwarna merah, dihiasi renda-renda bunga putih di sekelilingnya. Di tengahnya dihiasi permata imitasi yang berbentuk bunga-bunga. Bagus sekali. Didalamnya ada liontin putih bergambar lumba-lumba, hewan kesukaanku. Hm, tumben sekali ia ingat dengan hal seperti itu. Aku tiba-tiba ingat saat Ryosuke bertanya kepadaku dan Aiko mengenai hewan yang disuka, dan aku menjawab lumba-lumba sedangkan Aiko adalah kucing.
“Aiko, kau lama sekali membalasnya, kau kenapa?” tanyaku dalam hati. Hm, apa ia masih menyimpan rasa sukanya kepada Ryosuke? Ahh, mungkin. Dia bukan orang yang tepat untukku bisa bercerita. Aku harus bagaimana? Semoga Aiko tidak kenapa.
(AIKO)
“Tenang Aiko, tenang, kau pasti bisa menahan rasa sakit ini.” Kataku, berusaha tegar dan menjawab mail Arisa tentang arti kotak merah itu. Ini sih hanya sekadar kepercayaanku bahwa jika ada seorang laki-laki yang memberi kotak merah kepada seorang perempuan maka artinya laki-laki tersebut mau dan berusaha untuk menjalani hubungan serius dengan perempuannya itu. Aku menangis. Mungkin ini hal bodoh dan sepele, tapi mungkin juga aku sudah telanjur suka dengan laki-laki dan itu jarang aku dapatkan. Yang kudapatkan sekarang adalah perasaan lebih dari suka, mungkin inikah cinta?
(ARISA)
Ahh, mungkinkah ia tak marah kepadaku? Tapi ia masih mau membalas pesanku. Aku tak yakin. Aku harus bagaimana sekarang? Meminta maaf atau membiarkan itu semua? Jika aku meminta maaf nanti dia bingung mengapa aku berbuat seperti itu, tapi kalau dibiarkan? Hm, sebaiknya aku biarkan untuk beberapa saat. Maafkan aku teman yang sudah merusak hari-hari bahagiamu.
(AIKO)
Seminggu yang akan datang, bibiku akan berulangtahun. Aku mulai sibuk dengan persiapan pesta yang nantinya akan dihadiri rekan-rekan bisnis bibi yang pastinya kaya-kaya semua. Mau tidak mau harus memperhatikan sekali mengenai penampilan. Jauh-jauh hari bibiku sudah memesan gaun untukku dipakai di pesta ulangtahun nanti. Bibiku juga berpesan agar tidak bertingkah memalukan di pesta nanti karena bisa merusak citra yang terpancar. Iya aku tahu, tanpa dikasih tahu pun aku akan menjaga tingkah lakuku. Aku hanya mengangguk-angguk menanggapinya.
(ARISA)
Ryosuke mengajakku belajar bersama, yang tanpa kusadari ia akan melakukan sesuatu yang membuat waktu berhenti berputar beberapa detik!
Kami(aku dan Ryosuke) berada di sebuah taman kecil dekat rumahku. Kami duduk di bangku taman di tengah taman depan air mancur kecil yang bertugas memperindah taman. Aku sedikit canggung karena aku tak biasa diajak Ryosuke diajak ke tempat serindang dan sesunyi ini.
“Apa yang ingin kau tanyakan kepadaku? Oya, kita kan beda fakultas, memangnya ada pelajaran yang sama?” Tanyaku, polos. Sebenarnya aku bingung harus memulai apa pembicaraan kami ini.
“Hm, lebih penting dari ini, mungkin kau tidak akan sadar.” Kata Ryosuke, suasana berubah menjadi serius, aku makin heran dan bingung.
“Suasana di taman enak sekali yah, jarang-jarang aku bisa merasakan keindahan ini, aku tidak mau semuanya berakhir begitu saja. Sama seperti seseorang yang sudah menemaniku sejak lama, aku tidak mau berakhir dan menghilang dari hadapanku. Aku ingin terus bersamanya.” Kata Ryosuke, sepertinya ia ingin curhat denganku.
“Siapa seseorang itu?” kataku.
“Aku ingin selalu bersamanya, jika tuhan mengizinkan, mungkin, aku bisa bersamanya, selalu.” Kata Ryosuke.
“Aku ingin kau selalu bersamaku, aku tidak ingin kau menghilang dari hadapanku, apa kau mau, menjadi pendampingku?” Tanya Ryosuke. Ia sama sekali tak menatapku. Pandangannya hanya terfokus ke satu arah. Ia menembakku.
“Eh? Kau..serius?” kataku, mengerutkan dahi karena aku masih bingung. Ryosuke hanya mengangguk lemah dan menatapku.
“Ahh, gimana yah..” kataku, mengalihkan pandanganku dari Ryosuke. Aku bingung sekarang.
Ryosuke tersenyum.
“Tak apa kalau kau tak mau jawab sekarang.” Kata Ryosuke, dengan suara yang lebih terdengar berbisik-bisik.
“Bu..bukan itu maksudku.. tapi..” kataku gugup, aku bingung harus berkata apa.
“Ehm, aku..aku..bersedia.” kataku, memejamkan mataku sambil mengacungkan kedua jempolku. Perlahan aku membuka mataku, terlihat Ryosuke sangat senang dengan keputusanku.
“Ahh, kau memang sahabat..eh pacarku yang baik!” kata Ryosuke sambil merangkulku.
(AIKO)
Aku sedang membuat adonan kue untuk suguhan makanan ringan di pesta nanti. Aku dibantu oleh saudara-saudaraku yang tinggal berdekatan dengan bibiku. Entah apa yang merasukiku kali ini, aku akan membuat kue yang termasuk kue favorit yang sering kubuat untuk Ryosuke. Ah, aku kembali mengingatnya. Perasaanku masih sakit namun sudah tidak seperti dulu lagi, mungkin kalau aku bertemu dengannya aku tak yakin perasaanku akan baik-baik saja.
(ARISA)
“Aachan.” Kata Ryosuke sambil menjilati es krim cone yang baru kami beli.
“Ya?” tanyaku.
“Entah mengapa aku ingin membuat kue, bagaimana kalau nanti sore kau ke rumahku untuk membantuku membuat kue?”
“Eh? Apa tidak mengganggumu?” kataku, merasa tidak enak.
“Ahh, tentu saja tidak. Mau yah?”
“Benar nih? Nanti malah aku merusak kue buatanmu, aku kan tidak bisa memasak.” Kataku.
“Hahaha, tenang saja, tak apa, aku lebih senang kita membuatnya, karena kita membuatnya dengan rasa cinta…”
“Eh?” sambil menunjukkan muka datar.
“Belum selesai nih kalimatnya, yah, walaupun akhirnya akan berantakan.” Kata Ryosuke dengan nada menyindir.
“HAHA, maksudnya apa yah?” kataku dengan menunjukkan tatapan sinis ala canda.
(AIKO)
“Fuuh, yokatta. Jadi juga akhirnya.” Kataku, mengusap keringat yang mengalir di dahiku. Ini kue terakhir yang akan disusun menjadi menara kue yang nantinya akan ditaruh di tengah meja. Semoga saja rasanya enak, batinku. Bibiku terkagum-kagum melihat hasilnya dan menyuruhku untuk segera berbenah diri supaya aku tampil cantik di pesta nanti.
* *
30 menit lagi aku harus sampai di acara pesta, padahal aku masih berdandan di salon yang jaraknya jauh dari rumah bibiku. Aku meminta kepada perias agar disegerakan namun perias ini termasuk tipe lamban dalam bekerja, mau tidak mau aku harus menunggu. Namun begitu melihat hasilnya, aku senang sekali karena make up ini adalah yang paling cocok untukku.
Aku segera masuk dan menyetir dengan kecepatan 80 km/jam. Cepat sekali. Jantungku terasa akan copot ketika mengendarainya. Tapi ini demi bibiku yang beliau itu tidak mau aku datang terlambat ke pestanya. Mau tidak mau aku pun menuruti perkataannya.
Bibiku terlihat bahagia ketika melihatku sudah sampai. Hm, tidak seperti biasanya tapi aku senang karena disambut dengan sukacita. Bibiku langsung menarikku untuk ikut ke dalam percakapan ibu-ibu (yang mungkin terdengar norak percakapannya) sembari mengenalkanku kepada rekan-rekannya. Suami bibiku hanya tersenyum mendengarnya.
Huft.. aku sudah mulai bosan. Aku pun keluar dari percakapan rekan-rekan bibiku untuk mengambil segelas minuman sirup. Aku baru mengambil ketika ada seorang laki-laki yang tak sengaja menumpahkan minumannya kepadaku. Ahhh!
“Eh? Sorry tidak sengaja, kau tak apa?” Tanya laki-laki itu.
“Ahh, daijoubu desu ne, hanya sedikit basah dan lengket karena kau menumpahkan sirup.” Kataku, berusaha dingin didepannya. Aku tak mau terlihat seperti orang marah.
“Sorry yah sekali lagi, kau bawa baju ganti tidak? Atau kau mau pakai jasku saja untuk menutupi gaunmu yang kotor?” tanyanya dengan lembut. Aku jadi tidak enak menolaknya.
“Eh? Tidak apa-apa gitu? Nanti kau mau pakai apa?” tanyaku. Aku masih tidak enak dengan kelakuan baiknya.
“Ohh itu, aku masih ada baju ganti kok.” Katanya. Lalu ia pun melepas jasnya dan memberikannya kepadaku.
“Makasih banyak yah, maaf merepotkan.” Kataku.
“Ohh, justru aku yang harusnya meminta maaf karena telah mengotori gaunmu. Maaf banget. Aku permisi dulu yah, ada perlu.” Katanya dan pergi meninggalkanku.
“Oiya, namamu sia…pa?” tanyaku, namun laki-laki itu tidak mendengar pertanyaanku. Hm, aku harus bagaimana supaya bisa mengembalikan jasnya tanpa mengetahui namanya. Semoga keberuntungan selalu berada di pihakku.
(ARISA)
“Umai.” Kata Ryosuke saat mencicipi kue buatan aku dan dia.
“Haha, kan bikinnya pake cinta. Laughing out loud banget itu.” Kataku menyindir sembari tertawa, ia hanya mencibir.
“Tumben yah masakannya bagus.” Kata Ryosuke balas menyindir.
“Eeh, emang biasanya juga bagus kan? Kau saja yang tidak tahu, kau kan sibuk mengobrol dengan Aiko.” Kataku asal. Namun aneh juga kedengarannya tiba-tiba aku membahas Aiko, raut wajah Ryosuke pun berubah.
“Ohh gitu.” Katanya datar.
“Eeto, maksudku bukan itu, anoo…” aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Dengan tatapan dingin, Ryosuke pun mencolek krim ke wajahku. Spontan aku berteriak.
“Ryosuke Yamada!! Awas kau yaaa!” kataku, membalas keisengannya itu. Kami tertawa bahagia.
(AIKO)
“Bajumu kenapa kotor?” Tanya bibiku saat pesta hampir usai.
“Ooh ini, tadi aku tidak sengaja menumpahkan sirup saat aku minum.” Kataku berbohong.
“Lain kali jangan diulangi yah.” Kata bibiku.
“Aiko masuk dulu yah, sudah larut malam dan capek juga.” Kataku.
“Ooh iya, kamu tidak mau menonton band dulu?” Tanya bibiku. Aku hanya menggelengkan kepala , aku sudah capek sekali hari ini. Aku pun pergi ke kamar dan mengunci pintu. Aku tak tahu bahwa band yang tampil adalah band laki-laki yang kujumpai tadi.
(ARISA)
“Satu..dua..tiga..empat..satu..duaaa!.” kataku sembari melakukan senam ketika tak sengaja dikagetkan oleh Ryosuke.
“Haha.” Ryosuke hanya tertawa singkat. Aku hanya menatapnya sinis.
“Puas kamu hah! Puas?!” kataku.
“Huu, so’-so’an acting marah gitu, emang bagus gitu? Mau jadi artis yah nanti?” kata Ryosuke menyindir.
“Hah, bisanya kau menyindir saja, memang tak ada hal lain yang tidak bisa dikerjakan apa?” kataku, balas menyindir.
“Kau jadi jago menyindir karena diajarin siapa sih?” Tanya Ryosuke.
“Yaa, siapa lagi kalo bukan sama orang yang hobinya menyindir, wee—“ kataku, meninggalkan Ryosuke yang sedang melihat kepadaku sambil melipat kedua tangannya.
(AIKO)
Aku terbangun karena sinar matahari yang menerpa wajahku. Aku pun bangun dan menyegerakan untuk bersiap-siap menuju kampus. Tak sengaja aku melihat jas itu dan teringat kepada laki-laki baik hati itu. Hm, semoga saja aku bisa bertemu dengannya agar aku bisa mengembalikan jas ini.
Bibiku menyuruhku sarapan namun aku tak mau, sebagai gantinya aku dibawakan bekal oleh bibiku, aku hanya menurut saja. Aku pun berpamitan dan segera pergi karena aku tak mau terlambat sampai kampus.
Berangkat ke kampus – belajar- mengejar-ngejar dosen untuk tugas praktikum dan pulang. Itulah keseharianku saat terdapat jadwal di kampus. Hidupku seperti untuk belajar dan belajar. Di universitasku ini, mahasiswa dituntut untuk sudah bisa menerapkan ilmu aplikasi(yang padahal dosen terus menerus memberikan ilmu teori, nol persen untuk ilmu aplikasi) dan itu memang sulit. Untuk itu, tak banyak waktu yang bisa kuluangkan hanya untuk bermain.
Aku berdiri, berpikir sambil memandang jas laki-laki itu yang kutaruh di kursi belajarku. Aku pun mengambilnya. Parfum baju yang mungkin lebih mirip baunya dengan parfum badan, masih saja lengekt di jas itu. Aroma maskulin, enak sekali baunya. Aku merogoh saku jasnya, bisa saja ada petunjuk yang bisa menunjukkan siapa pemiliknya. Aku menangkap sesuatu didalam saku jasnya. Kartu mahasiswa. Aku mengamati dengan teliti setiap tulisan. “Nakajima Yuto”
(ARISA)
“Aaah, lama-lama aku bisa gila hanya karena tugas ini.” Keluhku. Aku memang kurang bisa kalau disuruh membayangkan suatu objek, dan sialnya itu ditugaskan. Karena lelah, aku pun menyelipkan kertas tugasku di buku dan menyalakan internet. Disana aku bisa mencurahkan perasaanku semuanya dan semaunya. Tak lupa aku mengganti layout blogku yang sudah lama kupakai.
Hari ini Aiko online. Aku ingin mengobrol dengannya.
Arisa : Halo Aiko, lama tak jumpa
Aiko : Ahaha, iya sama, bagaimana kabarmu?
Aku diteriaki mamaku untuk makan malam bersama. Aku pun segera turun ke bawah dan menikmati makan malam, aku meninggalkan chat bersama Aiko. 30 menit kemudian, ketika aku sudah selesai menikmati makan malam, aku pergi ke kamarku untuk melanjutkan obrolanku dengan Aiko.
Aiko : hey, bagaimana kabarmu?
Aiko : hey, bagaimana kabarmu? Lagi apa?
Aiko : Hey gimana kabarnya nih?
Arisa : Iyaiya sabar, habis makan malam, hm, baik selalu kok,bagaimana denganmu?
Aiko : Iya baik juga, kabar Ryosuke bagaimana?
Arisa : Baik juga, dia sudah makin mahir menyindir tuh, kadang aku kesal.
Aiko membalasnya dengan sangat lama. Aku tidak sabar dan mulai kesal.
Arisa : Aiko? Aiko? Are you there?
Aiko : Ahh iyaiya, ooh itu, hm, tidak usah terlalu dipikirkan yah, dia memang seperti itu.
Arisa : Iyasih, mungkin sebaiknya dibiarkan saja. Makasih yah nasihatmu itu selalu manjur.
Aiko : Haha, samasama.
Arisa : Aiko, aku off dulu yah, makasih nasihatmu nih, oyasumi…
Aiko : Oyasuminasai, watashi no tomodachi.
(AIKO)
“Nama Nakajima Yuto, Universitasnya New Y..ork University?” aku memandang lekat-lekat tulisan itu. Aku terbelalak. Aku mengulanginya sekali lagi. “New York Uni..versity?” kataku, itu tidak bohong. Ternyata Nakajima Yuto itu satu kampus denganku.
Akhirnya aku menemukan identitas laki-laki itu. Hm, tidak terlihat paras Jepangnya, ia lebih mirip paras Amerika dengan hidung mancung, bibir tipis dan pipi tirus. Fuuh yokatta, tuhan masih memberiku keberuntungan berupa kemudahan.
Aku lupa menyebutkan kalau Nakajima Yuto itu belajar di fakultas hubungan internasional. Gedung fakultas kami tidak begitu jauh karena ruangan fakultas kami berada di dalam satu gedung. Saat pembelajaran telah usai, aku pun memberanikan diri untuk pergi menemui Nakajima Yuto itu. Ah, tidak sulit mencarinya. Ia sedang duduk dekat jendela sambil membaca buku. Awalnya aku tak berani masuk tetapi..
“Kau cari siapa?” Tanya seorang laki-laki yang melihat kepadaku, mungkin ia melihat aku sedang mencari-cari seseorang.
“Ooh, aku cari..cari Nakajima Yuto, dia ada disini?” tanyaku, padahal sudah tahu Yuto sedang duduk sambil membaca buku.
“Ada tuh, Yutoo, ada yang mencarimu.” Kata laki-laki itu.
Nakajima Yuto pun menghampiri laki-laki itu, memberi isyarat ada apa, dan menoleh ke arahku.
“Ooh, kau mencariku?” tanyanya, mungkin sedikit aneh denganku. Laki-laki itu pergi dari tempat kami akan berbincang.
“Ahh iya, aku mencarimu. Hm, aku mau mengembalikan jasmu yang kupinjam 2 hari lalu.” Kataku, lalu menyerahkan jas yang daritadi kupegang.
“Oh iya, jangan-jangan kau cewek yang itu yah? Hm, maaf yah atas perbuatanku kemarin.” Katanya lalu tersenyum kepadaku. Aku sedikit tersipu.
“Ahh gapapa, tenang saja, lagian itu sudah berlalu.” Kataku membalas senyumannya.
“Ohh ya, darimana kau tahu ini adalah jasku?” katanya, menaikkan sebelah alisnya pertanda heran.
“Soalnya kau menaruh kartu mahasiswamu di saku jasmu.” Kataku.
“Wah iya? Pantas saja kartuku hilang, hahahaha, hm, makasih ya. Boleh tau namamu siapa?” tanyanya. Hm, agak kaget dia tiba-tiba ingin mengetahui namaku. Nakajima Yuto mengulurkan tangannya pertanda berkenalan.
“Namaku Watanabe Aiko, panggil saja Aiko.” Kataku membalas uluran tangannya.
“Nakajima Yuto, kau boleh memanggilku Yuto.”
(ARISA)
“Hei Yuma.” Kataku sembari menyapa Yuma yang sedang berjalan menuju kampus.
“Hei Ris, waah ternyata kita satu universitas yah?” kata Yuma dengan nada datar.
“Ahaha, iya yah, padahal udah satu bulan lebih disini, tapi baru sadar sekarang, aku juga baru sadar kok. Oya, bagaimana kabar ibumu? Lalu kau tinggal dengan siapa disini?” kataku dengan pertanyaan yang macam-macam. Yuma bertindak biasa saja, sepertinya ia tahu kebiasaanku, maklum kami pernah bersahabat cukup lama.
“Ibuku baik-baik saja, kadang menanyakan kabarmu. Kubilang sih baik-baik saja. Aku tinggal di apartemen kecil, lumayan jauh dari sini, aku mencari yang murah soalnya, kau tahu kan kondisi perekonomianku seperti apa.” Jawabnya.
“Waah, kapan-kapan kita bisa share bareng lagi yah? Hm, ngomong-ngomong kau sudah kenal dengan Ryosuke belum?” kataku.
“Yang waktu pas sehabis ujian ngobrol denganmu? Aku ingat mukanya tapi kami belum kenalan.”
“Nanti deh aku kenalin kamu ke Ryosuke. Pasti dia senang karena dia punya kenalan baru di kampus ini.”

to be continued
feel free to comment this story, thank you :)

curhatan panjang edisi 1

Sebelumnya bagi yang merayakan hari Imlek saya ucapkan 'Selamat Tahun Bau Imlek yang ke-2557' yah? atau udah berubah? saya tidak merayakan soalnya. Saya senang hari Imlek karena pernak-perniknya yang khas dan merah merah menyala, juga ada barongsai :)
Baru saja saya mengetikkan pesan dan kemudian dibalasnya, awalnya dengan kata sopan dan bermaksud menanyakan sesuatu kembali namun dijawab dengan nada agak tinggi dari sebelumnya. Baru memulai hari baru saja sudah berbuat seperti itu, bagaimana dengan waktu-waktu lain?
Terlalu gampang menyebutkan kata-kata yang seharusnya tidak boleh digunakan, baru saja menghampiri, mencela dengan nada tinggi, dijawab dengan nada sedikit rendah dan terkesan santai, dibalas dengan kata-kata kasar itu.
FUCK YOU!
pengen banget bilang gini : "lu ngatain gue fuck? lu tau gak sebenernya lu sendiri mitnah diri lu!" (kata-kata ini belum pernah ada sinkron dari pikiran ke mulut)
untung berada dalam emosi stabil sehingga hanya mendengar dan tidak terjadi perdebatan.
saya tahu saya belum mengerjakan apa-apa, padahal saya berada dalam jabatan paling penting dalam suatu acara tapi tidak usah berlebihan juga memarahi dengan cara seperti itu. Memangnya saya harus setiap kali kontrol? mengapa kalian juga tidak mau curhat ke saya tentang acara ini? atau karena saya TIDAK PERNAH datang pertemuan? (perlu digarisbawahi karena disitu saya memang tidak pernah datang) jangan-jangan para pelaksana itu belum tahu saya menjabat posisi paling mengancam? saya saja tidak pernah mengobrol dengan ketua pelaksana, mungkin ketua pelaksananya pun tidak tahu saya. Saya ingin bantu, ingin sekali malah, tapi jika dengan cara sebelumnya saya tidak tahu apa yang harus saya bantu, hei kalian?! saya tidak bisa mengontrol setiap harinya, saya tidak pernah diajak ngobrol dengan kalian hei para pelaksana?! saya pun tahu, saya sebenarnya TIDAK berada DALAM satu organisasi keislaman yang besar. Saya hanya penggemar islam saja. tapi hey, saya juga menjabat di lain pihak yang berhubungan dengan itu, apa karena saya TIDAK ikut bergabung dalam organisasi itu sehingga saya MERASA diacuhkan? lagi-lagi mengandalkan orang yang sama? apa karena saya TIDAK sebagus pekerjaannya? anda itu sudah mengenal saya berapa tahun? saya dan anda pernah mengalami nasib yang sama saat latihan mencapai kelogisan itu, apa mungkin anda malah makin dekat dengan orang yang anda tahu, anda kenal? berarti makin diacuhkan saja orang yang baru saja dikenalinya. harusnya dari sanalah anda mengetahui SIKAP dan PERILAKU saya, sehingga anda bisa fleksibel menghadapi saya. Apa anda sudah putus asa menghadapi saya yang tidak tahu harus diperlakukan seperti apa?!
ataukah saya perlu menjelaskan secara rinci mengenai SIKAP dan PERILAKU saya? mau seberapa panjang? saya mau kok membuatnya asalkan anda bisa memahaminya dan TIDAK mengeluarkan kata-kata yang lebih kasar yang pernah anda katakan kepada saya.
Untuk itu saya simpulkan, ANDA BUKAN TEMAN SAYA, karena kalau anda teman saya, anda sudah pasti tahu sikap saya seperti apa, walaupun abstrak setidaknya itu sudah menjadi penggambaran sifat.
Itu BUKAN tempat saya. Saya tidak merasa nyaman berada disana. Saya nyaman berada di tempat dimana saya klop dengan teman-teman satu pemikiran saya, sehingga saya tenang menghadapi semua yang akan dilakukan dan yang harus dilakukan. Saya sudah mulai kebal dengan tatapan ramah palsu sekumpulan orang-orang asing itu yang berada diluar sana. Saya akan memilih melarikan diri dari tempat asing dengan cepat karena saya tidak punya teman satu pemikiran dengan saya. Saya capek, muak, lelah, harusnya hidup ini saya jalani dengan sebaik-baiknya tapi saya malah mengeluh dan berniat menjauhinya. Semoga saja ini cobaan yang tidak pernah saya lupakan.

Sunday, December 19, 2010

Love life is like a long thread (1)

Disclaimer : Hey!Say!JUMP, NYC Boys
Starring : Aiko Kobayashi as Aiko, Arisa Rizuki as Arisa, Yamada Ryosuke as Ryosuke, Yuto Nakajima as Yuto and Hey! Say! JUMP, NYC boys as friends.

The first long story, are made by Arisa and Aiko. Let's enjoy, till the end, thank you (Keito's accent)

(ARISA)
Aku membuka jendela kamar yang tak jauh dari tempat tidurku. Terlihat matahari yang sedang memancarkan sinarnya yang bermanfaat, juga burung-burung yang berterbangan menambah suasana indah pagi ini. Tak sengaja aku lihat di teras rumah, terdapat sosok 2 orang yang sepertinya kukenal. Aku pun mengambil kacamata yang berada di meja lalu kembali duduk di jendela kamar. Ternyata Aiko dan Ryosuke. Tumben mereka datang ke rumah pagi sekali, batinku. Aku pun melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 9. Olala, aku hampir lupa kalau aku sudah berjanji dengan mereka akan jalan-jalan! Lima menit kemudian, kamarku terlihat seperti kapal pecah dengan mukaku yang seperti kapal pecah juga. Kusegerakan merapihkan penampilanku. Mamaku berteriak agar aku membereskan tempat tidur namun kuhiraukan, aku pun berpamitan.
“Maaf yah terlambat.” Kataku sambil merapihkan rambutku. Padahal sudah kupotong pendek namun tetap saja terlihat berantakan. Kata mamaku sih karena aku malas merawat rambutku, harus kuakui itu kenyataan.
“Hm, tak apa.” Kata Aiko, tersenyum kepadaku.
“Kita sudah terbiasa menunggu berjam-jam di rumahmu, ya kan Aiko chan?” kata Ryosuke menyikut pelan lengan Aiko. Aiko hanya tersenyum.
“Kita mau kemana nih kira-kira?” kataku polos.
Ryosuke menyipitkan matanya kepadaku. Aku tak mengerti maksudnya apa.
“Astaga, ada perempuan pikun rupanya disini.” Kata Ryosuke sengaja membesarkan suaranya.
“Kan waktu kemarin kita udah sepakat mau ke Shibuya.” Kata Aiko kalem.
“Oh iya ya, hehe, saya lupa. Gak pikun juga ya Mr. , maunya apa sih si Mr. ini?” kataku, dengan volume yang kecil, pura-pura kesal. Ryosuke tertawa puas.
“Mau beli apa memangnya?” Tanya Aiko kepada Ryosuke.
“Hm, gak tau, rencananya aku mau membeli jas untuk pesta keluarga.”
“Lho? Kok gak sama okaasan atau otoosan? Memangnya tidak apa?” tanyaku.
“Ya gapapa, justru mereka ‘sebenarnya’ menyuruh kalian untuk menemaniku membeli jas.” Kata Ryosuke nyengir.
“Cengar-cengir aja, kebiasaan.” Kataku melirik sinis.
Kami pun pergi kesana memakai mobil Ryosuke, dengan Ryosuke sebagai supir, Aiko duduk di bangku depan sebelah Ryosuke dan aku duduk di belakang. Aku sempat ditanyai mengapa aku tidak mau duduk di depan. Alasanku simple saja, yaitu aku ingin berselonjor kaki di kursi belakang dan lebih lega. Sambil menikmati perjalanan, aku membuat kopi hangat yang kebetulan tersedia di mobil Ryosuke.
(AIKO)
Hari Minggu ini adalah hari yang indah menurutku. Aku akan menemani Ryosuke pergi berbelanja. Sebetulnya dengan Arisa juga, tapi tak apa. Kami(aku, Arisa dan Ryosuke) berjanji untuk bertemu di rumah Arisa yang kebetulan dekat dengan Shibuya. Sudah kuketahui kebiasaan Arisa yaitu suka ngaret sehingga aku dan Ryosuke harus menunggu hampir 2 jam.
Seperti biasa aku melihat kelakuan Arisa yang sangat berbeda jauh denganku. Kadang, ada saja sifat urakannya yang membuat aku iri dengannya, dan entah kenapa juga setiap ia bercanda dengan Ryosuke, aku merasa cemburu. Ingin aku juga bisa seperti dia, sehingga Ryosuke senang dan nyaman berada di dekatku.
Tumben sekali Arisa tidak mau duduk di kursi depan. Biasanya ia yang duduk di kursi depan dan aku di kursi belakang. Katanya agar ia bisa beristirahat karena kursi belakang lebih luas. Hm, aku tidak sepenuhnya percaya dengannya, tapi ya sudahlah, aku mengalah.
Rasa deg-degan itu muncul saat perjalanan. Aku tak sengaja melihat Ryosuke yang sedang serius menyetir mobil. Wajahnya begitu tampan dan bersinar. He’s perfect boy that I’ve ever met!
“Doushita no Aiko chan?” Tanya Ryosuke ketika aku sedang melihatnya.
“Ahh, iie, daijoubu desu. Aku hanya… hanya melamun saja.” Kataku, gugup dan langsung memalingkan mukaku. Mungkin mukaku memerah namun tak begitu terlihat sepertinya.
“Sokka. Oya, maaf ya kalau misalnya nanti kita akan pulang sore, karena aku gak hanya beli itu saja.” Kata Ryosuke.
“Tenang bro! Santai aja lagi, kita kan lagi tidak punya acara, ya kan Aiko?” kata Arisa kepadaku. Aku hanya mengangguk.
Akhirnya kami pun sampai di Shibuya. Setelah itu kami langsung menyusuri deretan toko jas yang ada di dalamnya.
“Hei kalian, aku mau beli sesuatu nih, aku pisah ya, ntar ketemu di café.” Kata Arisa sambil menunjuk café yang ada di seberang.
“Oh boleh-boleh, hati-hati ya.” kata Ryosuke.
“Tenang, gak bakal digigit. Hahaha.” Kata Arisa.
“Sudah sana, ntar keburu tutup loh tokonya.” Kata Ryosuke, mungkin ia tak mau mendengar celotehan Arisa lagi.
Kami berjalan dengan diam tanpa suara, hingga akhirnya kami sampai di sebuah toko besar.
“Yokatta! Akhirnya ketemu juga tokonya.” Kata Ryosuke yang berubah ekspresinya menjadi senang.
“Eh? Toko apa?” kataku, masih melihat kanan-kiri jalan.
“Ini nih, biasanya ayahku beli jas disini.” Kata Ryosuke.
“Ohh, oke, masuk saja yuk.” Kataku.
Aku sempat terpana dengan bentuk ruangannya yang tenang. Aku melihat-lihat baju yang dipajang sampai akhirnya aku menemukan baju yang disuka. Saat aku lihat harganya. Oh, astaga! Gaun pendek bermotif bunga berwarna merah itu mempunyai harga ¥300,000!, harga itu tidak mencukupi uang yang kubawa hari ini.
Aku terus memberikan pendapat ketika Ryosuke menanyai tentang baju-baju yang akan ia beli. Hm, kelihatan seperti suami istri saja. Rasanya mukaku memerah ketika mengingat hal itu.
“Aiko chan, bagaimana dengan yang ini?”
“Hm, gak terlalu pas dengan warna kulitmu, coba yang coklat kehitaman, mungkin cocok.” Kataku. Dan ternyata itu benar.
Walhasil Ryosuke mendapat setelan jas dengan kemeja juga dasi. Serasa pegawai kantor saja. Ryosuke mengucapkan terima kasih lalu pergi ke café, tempat dimana nanti kami dan Arisa akan bertemu.
(ARISA)
Aku meninggalkan mereka berdua. Hm, tak apa. Aku juga punya kepentingan sendiri. Aku menyusuri toko-toko untuk menemukan toko alat music berada. Setelah setengah jam berlalu akhirnya aku menemukan toko alat music yang lumayan besar tempatnya.
Ups, sepertinya aku salah masuk karena ternyata toko ini banyak sekali bule sehingga kemungkinan besar percakapan dengan pegawai toko memakai bahasa Inggris. Namun kucoba dulu dengan memakai bahasa Jepang.
“Sumimasen.” Kataku kepada salah satu pegawai toko.
“ Ya, toko Simfoni, ada yang bisa kami bantu?” tanyanya ramah. Oh, ternyata bisa juga memakai bahasa Jepang.
“Saya mau membeli senar gitar dan biola, ada?”
“Ada, 1 set?” Tanya pegawai toko. Aku mengangguk.
“Tunggu sebentar.”
Tak lama kemudian datanglah seorang cowok berbadan kurus dan tinggi sekitar 180 cm memasuki toko.
“Excuse me, is this Simfoni musical instrument’s shop?”
“Yes, what’s the matter Mr.?” tanyaku.
“Are you one of officer in here?”
“No, I call the officer first.” Lalu aku memanggil pegawai toko. Pegawainya pun menemuiku.
Laki-laki itu berbincang-bincang dengan pegawai, fasih benar bahasa Inggrisnya. Mungkin orang luar negeri, namun berparas Jepang. Tak lama pegawai toko tersebut membawa yang aku pesan dan aku keluar dari toko. Namun laki-laki itu mencegatku.
“Excuse me nona, may you be my guide?” tanyanya. Ia membuatku kaget.
“For what?” tanyaku, masih kaget plus ia memanggilku nona.
“Because I was lost from my father. Maybe he will wait me in parking area. May you?”
“Oh okay, with pleasure.” Kataku lalu kami pun berbincang-bincang.
Akhirnya aku mengetahui bahwa ia adalah seorang American dan Nippon. Ayahnya mengajaknya liburan kesini. Kebetulan di Amerika sedang dipertengahan musim gugur dan dingin. Ia mengaku bahwa ia tak bisa berbicara bahasa Jepang. Ia hanya bisa mengerti namun tak bisa mengucapkannya. Hm, sama seperti aku, aku tak fasih berbicara bahasa Inggris hanya aku mengerti maksudnya. Setelah sampai di parkiran, ayahnya menghampirinya. Ia mengucapkan terima kasih kepadaku dan pergi meninggalkanku.
“Yahh, aku lupa menanyakan siapa namanya.” Batinku. Namun aku segera melupakan pikiran itu.
Aku menyusuri kembali toko-toko untuk pergi ke café tempat aku dan Ryosuke juga Aiko akan bertemu. Aku mencari-cari mereka setelah aku sampai di depan café, ternyata mereka duduk di ujung café. Aku bisa merasakan pancaran mata Aiko yang berbeda kepada Ryosuke. Hm, ada apa ini? Kok aku merasa tidak nyaman yah? Batinku. Lagi-lagi aku harus melupakan pikiran buruk itu dan menyapa mereka.
“Hooyy!” sapaku sambil menepuk pundak mereka berdua.
“Lama sekali.” Kata Ryosuke.
“Maaf, aku tadi sempat mengobrol dengan seseorang, makanya aku lama kesini.”
“Kau beli apa Arisa?” Tanya Aiko.
“Aku beli senar, senar gitar dan biolaku putus, makanya harus segera kuganti.” Kataku. Lagi-lagi aku menangkap pandangan aneh Aiko kepada Ryosuke.
“Eh, kami baru saja makan, kau belum makan kan?” kata Ryosuke.
“Belum lah, daritadi aku jalan-jalan, mana sempat aku makan.” Kataku , sedikit memberikan nada datar menanggapi pertanyaan Ryosuke.
“Hm, aneh, tadi kau cerewet sekali kenapa sekarang kau bersikap dingin?” Tanya Ryosuke.
“Oya, katanya kau mau pesan makanan.” Kata Aiko. Aku pun tak jadi menanggapi pertanyaan Ryosuke tadi dan segera memesan makanan.
“PR untuk besok apa Aiko?” Tanya Ryosuke. Kebetulan kami sekelas sehingga enak untuk menanyakan, terutama PR. Diantara kami, Aiko yang termasuk paling rajin.
“Hm, sepertinya hanya Matematika.” Jawabnya singkat.
“Hah, enak tuh, kalian sudah pintar, sedangkan aku? Matematikaku nilai jongkok.” Kataku sambil mencomot sandwich yang baru kupesan.
“Hei, walaupun gitu kau pernah mengungguli kami, sekali ulangan kau dapat nilai 100.” Bela Ryosuke.
“Haa, itu zaman kapan coba?” kataku.
“Sudah-sudah, jangan berantem.” Lerai Aiko.
(AIKO)
Sudah 20 menit lamanya aku dan Ryosuke menunggu Arisa di café ini. Ryosuke hanya diam dan memandang sekeliling. Tak enak juga jika terus diam-diaman seperti ini, kuberanikan mengobrol dengannya.
“Tak ada yang akan dibeli lagi?” tanyaku.
“Hm, tidak ada, jadi sekarang hanya menunggu Arisa.” Kata Ryosuke yang masih menatap ke luar jendela café. Ruang café itu dibuat tembus pandang sehingga pengunjung luar dapat melihat ke dalam.
“Ngomong-ngomong soal PR, nanti tolong smsin yah.” Kata Ryosuke.
“Sip-sip. Oh ya, waktu kemarin kamu gak masuk yah? Kenapa?” tanyaku.
“Wah? Memangnya Arisa tidak memberitahumu? Kemarin aku tidak masuk karena aku ada urusan.” Kata Ryosuke sambil memakan sandwich yang dipesan.
“Engga tuh, ya sudahlah tidak apa-apa.” Kataku dan meminum mocca latte.
Lalu aku menceritakan keadaan kelas sampai kami tertawa bersama. Tak lama kemudian Arisa datang dengan muka datar. Aneh. Tak seperti biasanya. Dan ia tak mau menceritakannya. Ya sudah kuhiraukan saja.
Arisa memesan makanan yang sama dengan Ryosuke. Sandwich dan Lemon Tea. Hm, entah mengapa kali ini aku sedikit cemburu dengan kesamaan mereka. Mereka menyukai Sandwich dan Lemon tea. Ryosuke terlihat tidak mempedulikan pesanan Arisa, ia hanya duduk tenang sambil menikmati makanannya itu. Aku pun hanya meminum mocca latteku sambil sesekali melihat ke luar menikmati pemandangan luar yang ramai di daerah Shibuya ini.
Sesekali Arisa berdebat dengan Ryosuke karena pelajaran. Hey! Aku tahu Arisa itu pintar tapi mengapa Ryosuke itu harus membelanya? Aku kesal dibuatnya.
“Kau ingin pergi kemana lagi?” Tanya Ryosuke kepadaku saat perjalanan pulang.
“Ahh tidak, hari ini aku sudah lelah jalan-jalan dan mulut juga udah capek banget buat ngomong. Makanya daritadi aku hanya diam saja.” Kata Arisa sambil melonjorkan kedua kakinya di bangku belakang mobil.
“Emang daritadi kamu ngomong yah? Perasaan baru tadi saja.” Kata Ryosuke penasaran.
“Ups keceplosan.” Kata Arisa setengah berbisik namun terdengar olehku. Entahlah jika Ryosuke mendengarnya. Ternyata tidak.
“Aiko, kau tidak membeli apa-apa?” kata Arisa.
“Eh? Engga, aku sedang tidak berniat berbelanja.” Kataku, kaget karena ia membuyarkan lamunanku.
“Wah, sudah sampai di rumahmu Ris, sampai bertemu besok, jaa mata ashita!” kata Ryosuke melambaikan tangannya. Arisa turun dari mobil, membalas lambaiannya dan tersenyum. Senyuman yang terlihat berbeda dari biasanya.
(ARISA)
Kami(aku, Aiko dan Ryosuke) pun pulang dengan diam tak bersuara. Aku sudah lesu karena entah mengapa hari ini terlalu capek bagiku. Namun berkesan juga mengingat ada orang asing yang tiba-tiba menawariku menjadi guidenya dan ia memanggilku nona. Tak lepas dari itu, aku juga bisa membetulkan gitar dan biolaku yang sudah lama rusak sehingga aku bisa bermain keduanya.
Lalu aku pun sampai di rumah. Rumah begitu sepi, hanya ada pembantu di dalamnya. Aku segera memasuki kamar untuk membetulkan gitar dan biolaku.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, aku pun keluar sebentar untuk menghirup udara segar. Iseng-iseng aku SMS Ryosuke sedang apa. Aku sering melakukannya dan ia berbaik hati mau membalasnya.
Di persimpangan jalan, aku melihat seorang bapak yang sepertinya kukenal wajahnya.
“Ara, ojiisama.” Kataku dan membungkukkan badan seraya member hormat.
“Eh Arisa, tak sengaja bertemu. Tidak bersama Ryosuke?” tanyanya.
“Ahh tidak, dia hanya mengantar saya sampai rumah. Sedang apa disini?” kataku.
“Hanya menghirup udara segar dan sekalian jalan-jalan. Ayo ikut ayah.” Katanya. Ia ayahnya Ryosuke, kadang-kadang aku memanggil dia Ayah namun beliau tidak keberatan.
“Ini buatmu.” Katanya, beliau memberikanku 1 cone es krim berwarna pink sesuai rasa kesukaanku, stroberi.
“Eh, oh, terima kasih banyak, jadi merepotkan.” Kataku, canggung ketika menerima es krim tersebut.
Ayah Ryosuke pun menceritakan apapun yang ada di benaknya hingga 2 jam berlalu. Mungkin ia butuh seseorang yang bisa berbagi cerita. Perlu diketahui bahwa sudah lama istrinya alias mama Ryosuke meninggalkannya karena ia sudah dipanggil duluan oleh Yang Maha Kuasa.
Aku mendengarnya dengan seksama. Beruntunglah beliau mempunyai Ryosuke. Sudah jarang ada cowok yang memang baik, terutama dengan cewek.
Setelah asyik mengobrol, kami pun pulang bersama. Begitu sampai rumah, suasananya masih sepi, mungkin lebih sepi karena jalanan sudah tidak dipenuhi oleh kendaraan.
(AIKO)
Pagi begitu cepat datang ketika waktu istirahat telah habis. Ke sekolah lagi, batinku. Untungnya aku sudah menyelesaikan PRku dengan baik sehingga mengurangi bebanku untuk bersiap-siap ke sekolah. Aku segera bersiap-siap dan pergi ke sekolah…
Mungkin keberuntungan berpihak padaku. Ketika sedang menunggu bis, aku melihat mobil sedan menghampiriku. Ternyata Ryosuke ada di dalamnya!
“Hei, masuk saja.” Kata Ryosuke ramah.
Aku pun masuk dan duduk di sebelah dia di bangku depan mobil. Ryosuke yang menyetir mobilnya.
“Tumben kau pergi agak siang, biasanya kau selalu pagi.” Kata Ryosuke sambil mengunyah sandwich yang dibawanya dari rumah.
“Haha, sesekali, memangnya tak boleh?” tanyaku, berusaha menjahilinya.
Ryosuke hanya menyengir.
(ARISA)
“Tumben Aiko belum datang.” Batinku saat aku memasuki kelas. Aku pun duduk di bangku ketiga di depan meja guru. Kebetulan aku membawa laptop hari ini sehingga aku bisa menaransemen lagu-lagu kesukaanku. Aku menyalakan laptop dan mengeluarkan headset untuk mendengarkan lagu asli serta hasil aransemen yang kubuat.
Tak lama kemudian Aiko dan Ryosuke masuk ke kelas. Kupandangi dari pantulan kaca di pintu kelas. Mereka terlihat akrab dengan arti berbeda, pikirku. Ahh, aku berpikir buruk lagi tentang mereka. Sudahlah, jangan berpikir aneh-aneh, batinku.
“Hey Aachan, kau sedang bikin apa?” Tanya Ryosuke yang kemudian duduk di bangku sebelahku.
“Ohh ini, aku lagi menaransemen lagu-lagu kesukaanku.” Kataku sambil memberikan satu headset untuk Ryosuke mendengarkan aransemenku.
“Hm, biar kutebak, ini lagunya Shiver, Gazette yah? Aku lumayan suka lagu ini.” Kata Ryosuke.
“Wah iya? Kukira kau tak suka, kau kan biasanya suka yang mellow nan galau gitu.” Kataku bercanda. Ryosuke menyikut sikutku pelan.
“Ahaha, galau terus nanti jadi beneran, kan kali-kali suka lagu rock.” Kata Ryosuke membela dirinya. Aku hanya mencibir. Ryosuke memukulku.
“Woy Mr., biasa aja mukulnya, sakit tahu!” kataku, pura-pura cemberut.
“Maaf nona, saya tak sengaja.” Kata Ryosuke, mendengar kata nona aku jadi teringat bule itu.
Aku hanya tertawa menanggapinya.
(AIKO)
Aku sedang mengerjakan tugasku di latop ketika itu Ryosuke menghampiriku. Alasannya cukup simple, yaitu ia tidak punya teman mengobrol. Arisa sedang dipanggil Wali kelas, entahlah karena apa, aku tak mau berurusan lebih lanjut. Aku menawarkan sebatang cokelat untuknya, dan ia pun senag hati menerimanya.
“Tumben kau bawa coklat. Lagi kenapa sih?” Tanya Ryosuke. Nadanya seperti orang yang ingin tahu betul maksudku.
“Ahh, iseng saja, terlalu banyak coklat di rumah membuatku mual, untuk itu aku membawanya ke sekolah.”
Ryosuke hanya berkata “oohh” sambil menganggukkan kepalanya pelan. Kemudian ia mencomot cokelat yang kuberikan tadi. Ekspresi mukanya yang lucu saat makan membuatku tertawa pelan, untung Ryosuke tidak mendengarkan hal itu. Syukurlah..
Rasa deg-degan itu kembali muncul saat Ryosuke mengelap bibirku dengan lap tangannya..
“Kau makan lucu sekali..” kata Ryosuke.
“Masa?” kataku setengah tak percaya, bukannya terbalik yah?
“Bibirmu ada yang terkena cokelat, sini aku bersihkan..”
Momen itu terlihat sangat lamaa sekali. Seakan bumi berhenti berputar. Waktu berhenti berdetak. Kami seakan berada di dimensi dimana kehidupan akan berhenti sepersekian detik. Aku merekam dengan jelas saat-saat itu.
“Sudaah.. Kau bisa makan kembali sepuasnya, ingat, bersihkan kalau kau sudah tak ingin memakannya, oke?” kata Ryosuke sambil mengacungkan jempolnya.
“Heii kaliaaan..” kata Arisa menghampiri kami yang sedang duduk di taman.
“Lama sekali, ada urusan apa?” Tanya Ryosuke penasaran.
“Ahh tidak, not really important for you..”
“Tuh kan, ayolah cerita.” Ryosuke meminta Arisa untuk menceritakan kepergian Arisa tadi. Intinya sih Arisa akan menjadi salah satu player solo yang akan mengisi acara di sekolah yang diadakan beberapa bulan sekali, sebenarnya intinya adalah untuk menyambut tamu dari luar.
“That’s all, anything else Mr.?” Tanya Arisa yang kelihatannya Ryosuke tidak puas akan jawaban Arisa. Ayolah, itu hal yang tidak penting menurutku, mengapa harus curiga lebih dalam?
“Haha, okay-okay, it’s enough.” Ryosuke mengacungkan kedua jempol tangannya pertanda puas.
(ARISA)
Ah, benarkah? Benarkah Ryosuke sedang bermesraan dengan Aiko tadi di taman? Kapan mereka jadian? Pikiran itu mulai merasuki otakku karena entah mengapa aku merasa dikhianati oleh sahabatku sendiri. Tapi aku belum punya cukup bukti untuk memvonis itu semua. Lalu kuakhiri saja pikiran burukku yang tak sengaja terlintas itu.
Pulangnya aku bersama Ryosuke saja karena Aiko sedang ada keperluan sehingga tidak bisa pulang bersama. Aku tidak mau mencegatnya karena itu bisa mengganggu privasinya. Akhirnya kubiarkan saja. Aku pun meminta Ryosuke untuk pergi ke kedai yang sama dengan saat aku bertemu dengan ayahnya dan memakan es krim.
“Ayahmu memang hobi jongging yah?” kataku sambil menjilati krim-krim es krim.
“Tidak, ia jarang melakukan itu, hanya sesekali, mengapa?” kata Ryosuke, menyodorkan biscuit cokelat kesukaannya kepadaku.
“Ahh, tak apa, aku hanya ingin menanyakan saja.” Kataku, berusaha menyembunyikan ekspresi berpikirku, takut Ryosuke akan curiga.
“Ohh.”
“Entah mengapa aku sedang tidak mau Aiko berada di antara kita.” Kataku, suaraku tak terdengar jelas karena ada sebuah mobil yang melesat kencang dekat kedai tersebut.
“Apa? Tadi kau berkata apa?” Tanya Ryosuke.
“Ahh, tidak, aku hanya berkata, tambah komplit jika Aiko berada disini.” Kataku berbohong, maafkan aku Ryosuke.
Ryosuke hanya melihat ke sekeliling, mungkin tidak menganggap pernyataanku tadi. Aku pun menjilati es krim cone ku yang sudah mau meleleh.
(AIKO)
Kegiatan les membuatku tak nyaman, apalagi kondisi kelas yang tidak mendukungku untuk bergaul ke lebih banyak teman.
Setelah les aku pun cepat-cepat pulang. Sambil menyusuri jalan tak sengaja aku melihat Arisa dan Ryosuke sedang menikmati es krim berdua di kedai yang biasa mereka tempati untuk makan. Tanpa basa-basi aku pun langsung kesana dan menghampiri mereka. Entah apa dan kenapa aku berpikir untuk menghampiri mereka, padahal aku bukan tipe orang pengganggu.
“Hei.” Kataku sambil menghampiri mereka dan duduk di kursi depan Arisa.
“Eh ada Aiko chan, mau kubelikan es krim?” Tanya Ryosuke.
“Oh boleh-boleh.” Kataku dan Ryosuke pun memesan es krim dengan rasa yang sama dengan yang mereka(Ryosuke dan Arisa)makan.
“Kau habis dari mana?” Tanya Arisa sambil mengunyah cone es krim.
“Eh, mm, dari les, kebetulan hari ini ada materi penting jadinya rugi saja kalau tidak pergi les.” Kataku. Aku melihat Ryosuke, ia sedang memainkan keyboard handphonenya.
“Ohh gitu, ya sudah mari bersenang-senang disini.” Kata Arisa tersenyum. Tak lama kemudian, pelayan pun mengantarkan es krim ke meja kami.
“Makasih.” Kataku dan segera menjilati es krim tersebut.
Ada suara handphone berbunyi, ternyata berasal dari Arisa. Arisa pun pergi keluar café untuk mengangkat telepon, mungkin tak enak saja kalau orang-orang di sekitarnya tahu tentang privasinya.
Tak lama setelah itu, Ryosuke mulai mengajak berbicara.
“Aiko chan, jikalau nanti kau sudah lulus SMA, kau akan melanjutkan sekolah dimana?” tanyanya.
“Hm, mungkin tetap disini saja kali yah, aku tak mau jauh-jauh dari keluargaku dan sahabatku.” Kataku.
Lalu kami pun terdiam. Awalnya aku berniat untuk mengambil kertas yang berada di dekat tangan Ryosuke, namun entah mengapa aku malah memegang tangannya.
“Eh, maaf gak sengaja.” Kataku. Lagi-lagi mukaku memerah. Untungnya Ryosuke tak paham.
“Eh, maaf untuk?” dia malah tak mengerti. Aku hanya tersenyum dan sepertinya ia tak mau melanjutkan lagi pembicaraan tersebut.
Arisa pun datang..
“Hei teman-teman, maaf aku harus pulang sekarang, ada urusan mendadak, see you.” Kata Arisa lalu pergi meninggalkan kami berdua.
Dengan jantung yang kini berdetak seribu kali lebih cepat, aku pun berusaha untuk tetap biasa, normal. Untuk mengalihkannya aku berusaha menggeser gaya dudukku agar lebih nyaman.
“Mau pulang tak?” Tanya Ryosuke, tumben ia mau bertanya hal yang kurang begitu penting.
“Boleh saja sih..” kataku. Terdengar gerimis yang cukup deras. Aku hendak bilang kita harus nunggu gerimis reda namun ternyata Ryosuke membawa payung.
“Aku membawa payung, jadi tak usah memikirkan kita akan kebasahan, oke?” katanya sambil mengacungkan jemponya. Aku tersenyum.
Kami pun keluar. Ryosuke membuka payungnya dan menarik tanganku untuk ikut bersamanya. Aku menurutinya. Di bawah naungan payung merah itu, aku merasa tubuhku makin dekat dengan tubuh Ryosuke. Ternyata aku dirangkul dan seperti hampir dipeluk olehnya. Alasannya karena ia tak ingin melihatku kehujanan dan kebasahan. Ia juga memberikanku jaket yang ia pakai tadi. Manisnya momen ini tak akan kulupakan selamanya.
(ARISA)
Malam pun tiba,aku pun membuka akun jejaring sosial yang sudah lama tidak kubuka. Layout situs itu telah berganti muka dan sudah banyak aplikasi-aplikasi yang ditambahkan. Mungkin sekarang situs itu sudah maju mengingat semakin banyak negara yang memakai situs tersebut.
Aku melihat Aiko telah mengupdate notes yang merupakan salah satu fasilitas di situs itu. Aiko senang sekali menulis, terutama puisi. Setiap puisi yang ia tulis selalu membuat si pembaca berpikir 2 kali lebih keras untuk dapat mengetahui arti puisi tersebut.
Tak menyangka, di hari senja itu
Dibawah lingkaran merah, kami bertemu dan menyatakan kasih
Tumben Aiko menulis puisi dengan romantis, batinku. Apakah ia sedang suka dengan orang lain? Handphoneku bergetar yang ternyata pesan masuk dan aku segera membacanya. Dari Ryosuke.
(AIKO)
Aku senang hujan. I Love Raining. Hujan membuatku merasa nyaman, hujan membuatku ingat kenangan-kenangan yang indah itu, yang takkan kulupakan. Semua itu membuatku berpikir bahwa apakah Ryosuke juga suka denganku?
Aku pun masuk kelas dengan muka yang berbinar-binar. Arisa menyambutku dengan sukacita. Hm, awal yang bagus.
“Hai Aiko.” Sapa Arisa, ia tersenyum.
“Hai Arisa, hm, Ryosuke mana?” tanyaku, dengan muka tak tahu menahu dan tanpa dosa.
“Gak tau, belum datang kali.” Kata Arisa, ia pun membaca buku.
Aku mulai menunggunya. Ia tak kunjung datang…
Bel telah berbunyi, awal pelajaran hampir dimulai, namun ia belum tampak batang hidungnya. Lalu aku mulai menghiraukan kehadirannya. Tak lama kemudian..
(tok tok tok)
“Ya masuk.” Kata Yuuki sensei yang kebetulan mengajar di kelas ini.
Seseorang pun masuk. Ternyata Ryosuke! Mukaku terlihat berbinar-binar lagi karena aku percaya ia akan datang.
“Maaf sensei, saya tadi berobat ke dokter, ini suratnya.” Kata Ryosuke menyerahkan surat dokter.
“Ya sudah, kamu boleh duduk.” Kata Yuuki sensei, lalu Ryosuke pun duduk di tempat biasanya. Di belakang Arisa.
“Pelajaran kembali dilanjutkan.” Sahut Yuuki sensei.
(ARISA)
“Sstt.. Aachan, Aachan.” Suaranya sangat familiar dan sepertinya kukenal. Ternyata benar. Ryosuke yang memanggilku.
“Mau tidak kau mengantarkan aku ke klinik sekolah?” Tanya Ryosuke kepadaku. Mukanya terlihat pucat.
“Boleh boleh, sekarang saja.” Kataku dan segera menarik tangan Ryosuke untuk cepat-cepat keluar kelas.
“Kenapa kau bisa seperti ini?” Tanyaku dengan nada cemas. Aku khawatir akan terjadi apa-apa dengannya. Mengingat sebentar lagi akan ada ulangan akhir.
“Hm, gak apa-apa, kemarin hanya kehujanan sedikit, itu pun tidak membuatku basah kuyup. Uhuk uhuk.” Kata Ryosuke, dan ia pun terbatuk-batuk.
“Kau ini, sudah dibilang kan kalau kau alergi hujan, mengapa kau tidak menghindar saja?” tanyaku, masih dalam keadaan cemas, namun lebih parah dari itu. Aku memegang tangan Ryosuke. Tangannya panas dan sepertinya ia akan terkena demam.
“Ayo buruan, sebelum panasmu makin parah.” Kataku.
Akhirnya kami pun sampai di klinik sekolah. Ryosuke pun langsung membaringkan tubuhnya sedangkan aku menyiapkan kompresan.
“Maaf ya membuatmu repot.” Kata Ryosuke, ia tersenyum dengan muka pucat. Terlihat kasihan sekali.
“Sudah tak apa, aku kan berniat hanya ingin menolongmu. Sudahlah tak usah dipikirkan, anggap saja ini sebagai tanda persahabatan.” Kataku tersenyum.
“Kalau kau ingin melanjutkan pelajaran, silahkan saja, ditinggal sendiri disini tidak apa-apa, aku sudah senang kau sudah menolongku.” Kata Ryosuke.
“Iya sama-sama.”
Kubiarkan Ryosuke tidur lelap, sementara aku akan memanggil suster untuk membawa makan untuk Ryosuke supaya bisa minum obat nantinya.
Aku memandanginya. Tepat saat ia menunjukkan seluruh bentuk wajahnya. Tampan, kataku dalam hati. Kurapihkan rambutnya yang lumayan berantakan saat ia sedang tidur. Rupa wajahnya mirip dengan adikku yang baru meninggal. Tak terasa air mataku mengalir.
“Arisa..” kata Ryosuke. Suaranya serak dan merintih.
“Iyaa, ini, kau minum dahulu.” Kataku sambil membantunya duduk, ia masih berada di atas tempat tidur.
“Makasih.” Kata Ryosuke dan meminum setengahnya.
Aku pun menyodorkan makanan untuk ia makan lalu minum obat. Awalnya ia tak mau tapi setelah lama aku membujuknya, ia pun mau.
(AIKO)
Ryosuke dan Arisa hendak pergi kemana, batinku. Aku mulai berpikir yang macam-macam tentang mereka. Aku melihat mereka keluar kelas terburu-buru.
Saat istirahat, aku langsung keluar kelas dan menyusuri koridor. Disana aku berpikir tentang kemungkinan mereka pergi. Aku pergi mencari ke setiap sudut dimana biasanya aku, Ryosuke dan Arisa nongkrong.
Hasilnya, nihil. Aku tak berhasil menemukan mereka. Mereka tidak ada dimanapun. Apa, mereka kabur tanpa memberitahuku? Aku sudah lelah mencari mereka. Masih ada waktu 10 menit sebelum bel berbunyi, kupikir aku harus kembali ke kelas karena aku sudah menyusuri segala penjuru sekolah sehingga tanpa sadar aku telah berada jauh dari kelas.
Kulihat sekilas jendela klinik yang berada lumayan dekat dari kelasku. Terlihat seseorang yang sepertinya kukenal. Ia sedang duduk, memperhatikan seorang yang sedang terbaring. Dengan rambut pendek sebahu dan lengan baju yang digulung. Iya, aku kenal orang itu!
(ARISA)
Sekali lagi aku memperhatikan wajahnya yang damai. Tenang. Keren dalam kesunyian. Namun kini ia tengah terbaring lemah di klinik ini. Hm, apakah seharusnya aku merasa bersalah atau tidak karena aku tidak bisa menjaganya?
Terdengar suara pintu dibuka.
(AIKO)
Aku berlari menyusuri koridor klinik yang panjang, berusaha mencari kebenaran bahwa apa benar ia dan orang sakit itu adalah 2 orang yang kucari. Kuperhatikan dengan seksama saat aku tengah sampai di ruangan pasien. Tidak sulit mencarinya karena pintu ruangannya terbuat dari kaca. Otomatis dengan mudah aku bisa mencari mereka.
“Arisa…” kataku dan langsung melihat kea rah seseorang yang sedang berada di ranjang. Ryosuke!
“Kau apakan Ryosuke?!” kataku, emosiku sudah hampir meledak.
“Justru seharusnya aku yang bertanya, kau apakan dia kemarin?” katanya, ia berusaha memendam emosinya.
Aku hanya diam saja. Aku bingung apa yang harus aku katakan sekarang.
Arisa berlari keluar, aku pun membiarkannya. Entah mengapa keegoisanku muncul dan berkata ‘salahmu sendiri membiarkan Ryosuke, mengapa kau malah menyalahkanku?!’
(ARISA)
Muncul darimana pikiran itu? Muncul darimana pikiran aku untuk menyalahkan Aiko? Ucapku dalam hati. Oke, aku merasa janggal dengan perasaan Aiko dengan Ryosuke, apakah ia suka dengan laki-laki itu atau tidak, tapi entah mengapa baru kali ini aku mengucap kata-kata yang ‘sepertinya’ menyalahkan Aiko. Aku terus berlari sampai aku berhenti di sebuah tempat dimana aku sering bercanda dengan sahabat-sahabatku(Aiko dan Ryosuke).
(AIKO)
“Arisa..” kata Ryosuke setengah sadar, mungkin ia masih mengingat kalau Arisa berada disini, tadi.
“Bukan Arisa, aku .. Aiko.” Kataku, sambil duduk di sebelah ranjang Ryosuke. Mukanya pucat pasi, aku tak tega kepadanya.
“Tolong ambilkan aku minum.” Kata Ryosuke terbata-bata.
Aku pun mengambilkan minum dan menyuapkannya kepada Ryosuke.
(ARISA)
Aku berlari menyusuri koridor sekolah dan berhenti di depan ruang musik. Tak ada orang disana, jadi kuputuskan untuk masuk.
Ruangan yang terdapat poster composer bethoveen di belakang pintu, lemari penuh partitur di sebelah kirinya dan piano yang dipajang di tengah ruangan, aku pun berjalan menuju piano tersebut. Sebelum it, kuambil kumpulan partitur di lemari. Partitur yang berjudul symphony no.5 ini mengingatkan aku kepada kenangan saat aku dan Ryosuke berlatih lagu itu. Kami sempat terengah-engah dengan temponya karena terlalu cepat. Kami berasa siswa SMA yang paling berbahagia saat itu. Partitur palladio ini mengingatkanku pada lagu pertama yang diajari oleh guru music, dan sejak itu aku bertemu dengan Aiko, Ryosuke. Aku mulai memainkan dua lagu yang akan mengingatkanku pada kenangan lama itu.
(AIKO)
3 hari tak terasa telah berlalu, Ryosuke sudah kembali sehat, aku pun lega ia kembali ceria seperti biasanya. Arisa sudah bersikap normal, padahal sebelumnya ia sempat marah kepadaku, entah mengapa.
“Aiko chan.” Kata Ryosuke, kami(aku, Arisa dan Ryosuke) tengah berada di kedai, tempat biasa kami nongkrong.
“Ya?” kataku, sambil memakan wafel yang kupesan.
“Nanti kau akan melanjutkan kemana?” tanyanya.
“Masih belum tahu, bagaimana denganmu?” kataku, berbohong.
“Ahh, disini saja, aku tidak mau pergi jauh-jauh, merantau mencari ilmu.”
“Gile! Kata-katanya, puitis abis lah.” Kata Arisa mengacungkan jempolnya. Ryosuke pun membalas dengan senyuman PDnya. Arisa menepis pipinya pelan.
“Idih, dipuji sedikit, sudah PDnya selangit.” Kata Arisa, memunculkan kesan meremehkan.
“Kalau kamu mau dimana Aachan?” kata Ryosuke, tidak memedulikan gurauan Arisa tadi.
“Disini sajalah, aku masih ingin merasakan keadaan negeri ini.”
“Hm, sepertinya virus puitisku menyebar.” Kata Ryosuke.
“HAHA.” Kata Arisa, meremehkan ucapan Ryosuke, kami pun tertawa bersama.
Aku bohong. Maafkan aku Ryosuke, sebenarnya, sebentar lagi aku akan meninggalkanmu.
(ARISA)
Hahh, ujian semester, ujian universitas. Ujian, ujian, ujian saja terus. Otakku sudah mulai memanas, kayaknya untuk menggoreng telur di atas kepalaku akan matang dengan sendirinya.
Belajar, ujian, belajar, ujian, oh god! Please tell me what should I do! Aku meneriakkan kata-kata inggris itu yang kudapat dari lirik lagu. Respon para pendengar memperingatiku supaya aku tidak berisik. Aku berada di tengah tumpukan buku yang harus kurangkum supaya aku bisa lulus dalam ujian. Capeknyaa…
Perpustakaan tutup jam 5 sore, masih ada waktu 1 jam lagi untukku merangkum buku-buku tebal ini. Dengan cepat aku pun merangkum buku-buku ini.
Yosha! Selesai satu buku tepat pukul 5 sore. Petugas perpustakaan memperigatkanku untuk keluar karena akan ditutup. Aku pun keluar dan segera pergi ke rumah untuk belajar kembali.
(AIKO)
Semakin cepat waktu berputar, semakin cepat ujian datang, semakin cepat kepergian itu datang, semakin cepat aku meninggalkan Ryosuke. Rasanya dada ini sesak dan aku tak mau hal ini cepat terjadi. Hari ini adalah hari pertama untuk ujian. Masih ada waktu 20 hari untuk menikmati saat terakhir bersamanya dan sahabatku.
(ARISA)
“Hey Aiko, sendirian saja.” Ucapku, mengagetkan Aiko yang sedang duduk sendirian di kedai langganan.
“Oh, haha, iya, lagi nyari inspirasi nih.” Katanya, rupanya ia kaget.
“Inspirasi buat apaan?” kataku.
“Haha, penyemangat hidupku.” Katanya. Kulihat sorot matanya tampak sedang berada dalam masalah, dan mulai berkaca-kaca.
“Kenapa?” tanyaku khawatir.
“Ahh, gapapa.” Katanya, ia menyeka air matanya.
“Eh, aku duluan ya, aku ditunggu sama temanku nih.” Kataku, ada apa dengan Aiko ya?
(AIKO)
“Aiko chan..” kata Ryosuke, menghampiriku yang sedang merapihkan kertas-kertas catatan. Banyak sekali, harus kubundel nanti.
“Ya? ada apa Ryo?” tanyaku.
“Tumben kau tak pulang cepat?” tanyanya.
“Ahh itu, aku kan lagi merapihkan catatan-catatan ini, makanya aku belum pulang.” Kataku berbohong, padahal sedari tadi aku hanya memikirkan bagaimana caraku mengucapkan kepada Ryosuke kalau aku akan pergi. Merapihkan catatan itu hanya kedokku supaya ia tak berpikir macam-macam tentangku.
“Mau pulang bareng tidak?” kata Ryosuke.
“Oh, boleh-boleh, sepertinya sudah lama ya tidak pulang bareng.” Kataku, dan kami pun pergi meninggalkan kelas. Aku pun tak sadar kalau aku sedang dibuntuti seseorang.
Saat di halte bis, hujan turun dengan derasnya, aku mulai memikirkan masalah tadi.
“Ryo..” kataku, mungkin mataku berkaca-kaca saat itu.
“Ya? sepertinya nada bicaramu terdengar serius.”
“Hm, iya, sebenarnya….” Kataku, Ryosuke pun beranjak dari tempat duduknya untuk berdiri di depan plang pemberhentian bis. Dengan refleks, aku pun memeluknya.
“Aiko chan, ada apa ini sebenarnya?” katanya kaget.
“Ryosuke, aku, aku akan pergi untuk selamanya, aku sayang padamu, aku aku tak ingin meninggalkanmu dengan konyol, aku akan kuliah di New York.” Kataku, menangis sejadi-jadinya saat itu. Aku tak tahu harus berkata apa lagi dengannya, mungkin perasaanku sekarang lebih dari lega.
Ryosuke pun merangkulku..
“Mengapa kau tak bercerita dari dahulu, aku shock mendengarnya.” Katanya, tiba-tiba petir menyambar dengan kerasnya, kami masih berada di naungan huja n saat itu.
“Maafkan aku, aku tak tega menceritakannya pada siapapun, termasuk kamu.” Kataku.
“Aku sedih sekali mendengarnya, baik-baik ya disana, aku selalu merindukanmu.” Katanya, membuat hatiku merasa lega.
(ARISA)
Aku memergoki Aiko dan Ryosuke berada di dalam kelas. Tak seperti biasanya Aiko tidak pulang cepat hari ini, hm, apa ada masalah? Tapi, kenapa pas waktu itu aku bertemu dengannya ia tak mau cerita? Kenapa dia hanya bercerita kepada Ryosuke? Kenapa tidak ke aku saja yang punya perasaan cewek yang sama? Apa terlalu pribadi? Hey, aku sahabat dia juga, mengapa ia tak mau berbagi rasa denganku?
Aku yang dipenuhi pikiran-pikiran aneh itu, yang tanpa sadar, aku berencana mengikuti mereka. Aku sempat punya pikiran, apa Aiko suka dengan Ryosuke, tapi mengapa ia tak mau menceritakannya? At least, aku juga suka dengannya, tapi mengapa ia seperti itu? Mengapa ia main belakang? Aku memergoki dia dan Ryosuke saat hujan waktu itu. Aku melihat mereka berpelukan. Aku, aku cemburu kepada mereka. Mengapa mereka melakukan hal seperti itu dibelakang sahabatnya? Aku , aku tak tahu lagi perasaanku sekarang, apalagi melihat mereka berpelukan romantis di pemberhentian bis saat hujan, dan Ryosuke mengatakan ‘aku selalu merindukanmu’
Entah mengapa aku rapuh, rapuh karena laki-laki. Padahal sebelumnya aku tak pernah begini. Aku, aku menyesal, mengapa aku bisa suka dengan sahabatku sendiri. Aku pulang, dengan pakaian basah karena hujan, muka yang basah karena tangisan yang tidak berguna ini, dan tak ada orang yang mau menolongku, berbeda dengan Aiko yang selalu ditolong Ryosuke saat Aiko membutuhkan pertolongan. Tuhan, maafkan aku, aku telah cemburu pada ciptaanmu!
(AIKO)
Aku pulang. Aku takkan lama berada disini. Sebentar lagi, tinggal kenangan, tapi jangan sampai aku kehilangan kontak dengan mereka(sahabat-sahabatku). Aku pun mengirimkan mail kepada Arisa tentang kepergianku ini, yang waktu itu tak sempat.
(ARISA)
Aku membuka chat box saat aku sedang browsing di internet.
Ryosuke : Hai Aachan, kau sibuk tidak besok?
Arisa : Memang apa urusanmu?
Aku bersikap dingin terhadapnya, entah apa yang terjadi padaku sekarang ini.
Ryosuke : Hehe, ada sesuatu yang harus aku bicarakan. Ini penting soalnya.
Arisa : Mengapa tak disini saja, mumpung kita bertemu.
Ryosuke : Ahh, oke deh sekarang saja. Aiko bilang kepadaku kalau ….
Ahh, disconnected! Handphoneku berdering tanda mail masuk. Dari Aiko, isinya tentang kepergiannya ke New York. Aku tak menanggapinya lebih lanjut.
Ryosuke : Aachan?
Arisa : Maaf, tadi disconnected, kau mau ngomong apa?
Ryosuke : Oh ya, hm, Aiko bilang kalau ia akan pergi ke New York.
Arisa : Kapan dia ngomong seperti itu?
Ryosuke : Tadi siang, awalnya ia mau mengatakan kepadamu tapi tak sempat.
Arisa : Oh.
Aku pun langsung menutup chat box, masih mengingat kejadian yang tadi, yang membuat dadaku terasa sesak. Aku pun merebahkan diri ke tempat tidur, melupakan segala hal yang tidak mengenakkan hari itu.
(AIKO)
Aku kesal. Mengapa hal ini harus terjadi. Aku ingin momen-momen yang indah itu tetap ada. Mungkin takdir berkata lain, aku harus menyanggupinya.
Aku berjalan melewati lorong-lorong bandara dimana sebenarnya pengantar boleh mengantar sampai sana. Namun mungkin karena Arisa sudah terlalu sedih karena hal ini, jadi kuputuskan untuk mengatakan bahwa sudah cukup untuk diantar sampai sini.
Ada seseorang yang berlari, sepertinya langkahnya makin mendekat. Ketika berbalik, kudapat sosok Ryosuke yang sebenarnya aku tunggu!
“Aiko chan?” katanya. Ia membawa sebuah kotak, entah berisi apa.
“Ya? maafkan aku karena aku terlalu cepat meninggalkan semua ini.” Kataku.
Ia memegang tanganku dan memberi kotak yang Ryosuke bawa.
“Ini untukmu, anggap saja ini dariku dan Arisa.” Katanya. Aku senang bukan main.
“Makasih, you two are such a bestfriend before after ” kataku. Lalu aku merangkulnya sebagai tanda sahabat dan aku pun pergi meninggalkannya.
(ARISA)

Seminggu setelah kepergian Aiko, aku harus menghadapi ujian masuk Universitas. Aku yakin aku mampun, namun sepertinya aku belum maksimal dalam belajar. Aku berserah diri pada takdir.
Ruanganku berada di lantai tiga di salah satu kompleks universitas yang cukup terkenal di Jepang. Sedangkan ruangan Ryosuke berada di sebelahku. Aku pun membaca-baca buku sebelum bel, dan menutupnya ketika pengawas mulai masuk untuk memberikan kertas ujian.
Deg-degan itu alamiah, dapat terjadi di semua orang yang gugup akan sesuatu. Begitupun aku yang kurang yakin dalam mengerjakan soal-soal ini. Kebanyakan soal ini adalah soal olimpiade, sebelumnya aku sudah pernah membacanya sehingga mudah-mudahan dapat membantuku menyelesaikan soal-soal ini.
Ada seseorang yang memperhatikanku dibelakang. Begitu aku menoleh, ia langsung mengalihkan pandangannya kearah lain, tapi aku yakin tadi ia sedang melihatku. Aku makin bingung dengannya, padahal kami tidak saling kenal. Aku tidak mempedulikannya dan kembali fokus dalam pengerjaan soal-soal ‘dewa’ ini.
“Fuuh, yokatta!” kata Ryosuke sambil meregangkan punggungnya.
“Walah, soal apa ya tadi? Kok ingin dibantai satu-satu nih kayaknya.” Kataku. Aku sudah stess melihat soalnya, terutama matematika.
“Alah, jangan berpura-pura bodoh, taunya kau diterima saja di universitas ini, awas kau ya, harus traktir.” Kata Ryosuke sambil menunjuk-nunjukku.
“Apaan sih? Hm, enak saja, seharusnya kau yang menraktirku.” Kataku mencibir.
Aku melihat kembali orang yang tadi sempat memperhatikanku. Aku bingung ia siapa, sepertinya aku pernah kenal dengannya. Begitu kudekati…
“Yuma?” kataku, kaget. Aku sungguh tidak percaya dengan perubahan yang dialami setelah 7 tahun tidak bertemu.
“Ahh, rupanya kau masih mengenaliku Ris, kukira tidak.” Katanya tersenyum.
“Apa kabarmu? Sudah lama tidak ada kabar darimu, kau masih tinggal di Sapporo?” tanyaku. Ekspresi mukaku tiba-tiba menjadi gembira. Sementara itu Ryosuke kebingungan yang akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi entah kemana.
“Baik-baik saja, hm, iya masih tinggal disana. Kalau nanti aku dapat universitas di Tokyo, aku bakal pindah.” Katanya.
“Nanti siapa yang akan mengurus orangtuamu?” tanyaku.
“Hm, orang tuaku sudah meninggal beberapa bulan lalu, kakak perempuanku sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya di daerah Kyoto.”
Aku hanya membentuk huruf O di mulut. Aku beruntung sekali orangtuaku belum meninggal.
“Lalu siapa yang akan membayarimu kuliah disini?” tanyaku. Aku masih penasaran dengan cerita-ceritanya karena sudah lama sekali kami tidak bertemu.
“Aku diterima bekerja di sebuah kafe baru-baru ini, dan kebetulan aku punya uang tabungan yang cukup untuk membayar kuliah.” Katanya. Benar-benar anak mandiri. Waktu dulu, aku tidak yakin kalau suatu saat Yuma akan menjadi seorang laki-laki mandiri karena setahuku ia selalu diantar kemana-mana dengan ibunya.
“Boleh minta alamat emailmu?” tanyaku. Aku segera mengeluarkan handphone dari tasku yang tak jauh dari sana.
“Aku ambil handphone dulu yah, aku kurang begitu hapal dengan email baruku.” Kata Yuam. Ia pun mengambil handphonenya dan segera duduk kembali. Setelah itu kusodorkan kertas dan pena untuk dicatat.
“Makasih yah, oya, aku duluan pulang yah.” Kataku dan pergi meninggalkan Yuma.
Aku pun keluar kelas dan segera pulang. Namun sebelumnya aku melihat-lihat ke sekeliling gedung calon universitasku. Begitu megah. Aku ingin sekali bisa masuk dan menuntut ilmu disini. Sudah mendengar dari kebanyakan orang karena universitas ini mempunyai alumni-alumni yang dijamin akan langsung mendapatkan pekerjaan dan akan professional di bidangnya.
Saat aku menyusuri kantin, ternyata Ryosuke berada disana sejak tadi ia meninggalkan kelas. Ia sedang membaca buku sambil menikmati cemilan yang telah ia pesan.
“Eh, mau satu dong stiknya.” Kataku, langsung kucomot deh.
“Eeeh, main ambil main makan, bayar dulu baru boleh.” Katanya.
“Ahh, pelit nih cowok, masa’ ke cewek kayak gitu, gimana nanti ke pacar?” kataku ketus, namun tanganku tetap nakal untuk mengambil stik kentang itu.
“Biarin, hak saya, eh, emang kamu ibuku hah?” katanya, namun tatapan matanya ke arah buku yang sedang ia baca.
“Yah, ada orang gila disini, jadi yang tadi dimarahin itu siapa sih sebenarnya? Aku apa buku biru itu?” kataku, sambil mengunyah stik kentang yang kuambil berkali-kali.
Begitu Ryosuke melihat ke piring stik kentangnya dan menyadari stik yang ia pesan tinggal seperempat sementara ia belum makan sedikitpun…
“ARISAAAA!!! BAKA!!!” Ryosuke pun mencubitku, aku hanya menujulurkan lidah. Momen yang menyenangkan.
(AIKO)
Hawa ini terasa asing. Takkan ada lagi harum Udon yang selalu disajikan di restoran di depan rumahku. Takkan ada lagi pintu geser dan lantai kayu yang hangat. Semuanya berubah. Disini, aku harus terbiasa dengan makanan cepat saji yang jarang ada di Jepang. Disini aku harus terbiasa dengan logat-logat inggris-amerika yang fasih itu. Aku belum terbiasa berbicara bahasa inggris di muka umum. Ahh, semua itu perlu adaptasi. Aku sebal. Seandainya saja aku tetap berada disana. Seandainya saja aku masih bersama sahabat-sahabatku. Aku tidak harus beradaptasi di lingkungan yang ‘tidak kenal’ ini.
(ARISA)
“Hm…” kata Ryosuke, seolah ia sedang memikirkan sesuatu. Aiko?
“Kenapa kamu?” Tanyaku sambil menyuap es krim yang kubeli.
“Aku mau es krim.” Kata Ryosuke sambil meniru suara anak kecil yang merengek akan sesuatu. Ia paling bisa meniru suara orang.
“Yah dia, jiwa anak kecilnya keluar, emang dikasih uang berapa sama mama?” tanyaku dengan nada suara yang sedang berbicara dengan anak kecil.
“Seratus yen bu.” Kata Ryosuke.
“Eh? Apa tadi katamu? B..bu? enak aja, emang mukaku kelihatan tua yah? Padahal aku lebih muda darimu.” Kataku mencibir.
“Habis nada bicaramu seperti ibuku.” Kata Ryosuke. Ia mulai berakting menjadi anak kecil, lagi.
“Iya iya, nih. Jangan dihabiskan loh.” Kataku, sambil menyuapi es krim ke Ryosuke. Tiba-tiba ia memegang tanganku.
“Arisa..kau sungguh baik terhadapku, aku.. aku sangat terharu.” Kata Ryosuke, seperti membuat rangkaian kata puitis.
“Alah gombal lu! Bilang aja mau minta lagi es krimnya. Mau lagi gak?” kataku.
“Haha, ya kalau kamu mengizinkan ya tidak apa-apa, hehe, makasih yah.” Kata Ryosuke sambil menyuap es krim ke mulutnya.
Aku hanya mengacungkan jempolku dengan raut muka yang sebenarnya enggan untuk membagi sebagian es krimku. Ya sudahlah tak apa. Aku hanya menanggapi dengan senyum.
“Ada rencana keluar tidak hari Minggu?” kata Ryosuke.
“Hm, sepertinya tidak, ada apa memangnya?” Tanya Arisa.
“Ada yang berulang tahun Minggu besok dan ia adalah salah satu temanku. Kau mau kan pergi ke pesta itu bersamaku?” Tanya Ryosuke. Sepertinya ia tak berbohong.
“Ohh boleh-boleh, jam berapa kita akan datang?” tanyaku.
“Jam sebelas aku akan menjemputmu, oke?” kata Ryosuke sambil mengacungkan jempolnya.
Aku hanya tersenyum.
Sepanjang perjalanan kami teridam, menikmati keadaan masing-masing. Ryosuke tiba-tiba memegang tanganku, aku biarkan saja karena kami memang sering seperti ini. Tidak ada yang spesial di antara itu. Aku pun sampai di rumah dan melambaikan tangan ke Ryosuke.
(AIKO)
Aku melihatnya. Ya, aku melihat banyak sekali video musik Arisa yang menceritakan rasa sukanya kepada Ryosuke. Mulai dari lagu-lagu kesukaan Ryosuke, alat music kesukaan Ryosuke sampai ada muatan foto Ryosuke yang dibingkai, terletak di atas meja dekat tempat tidurnya yang tak sengaja terfokus. Benar, ia suka dengan Ryosuke!
Aku menangis malam itu. Aku tidak menyangka Arisa suka dengan orang yang sama.
(ARISA)
“Beneran kau pakai baju ini?” kata Ryosuke terbelalak.
“Iya lah, kenapa gitu?” tanyaku, bingung. Aku memakai setelan t-shirt panjang dengan lengan digulung, celana hitam ketat dan panjang, serta topi. Memanngnya perempuan tidak boleh berdandan seperti itu.
“Hm, aku tidak melarangmu memakai baju seperti itu, tapi, acara nanti itu formal dan seharusnya kau memakai gaun dan pernak-pernik lucu untuk menunjukkan keperempuanmu.” Kata Ryosuke menjelaskan panjang lebar. Ia sedang membaca pikiranku ternyata.
“Eh? Iyasih, tapi, aku tak punya gaun.” Kataku jujur.
“Haduuh anak ini, ikut aku yah, aku mau mengubahmu.” Kata Ryosuke menarik lenganku dan pergi ke suatu tempat yang tidak pernah aku menginjakkan kaki disana. Salon.
“Ngapain sih kita kesini, memangnya siapa mau didandan?” tanyaku. Aku sudah mulai kesal.
“Ya kamulah yang mau didandan, biar terlihat cantik.” Kata Ryosuke. Sebenarnya ia tahu aku tidak suka tempat ini namun ia tetap memaksa. Aku pun menurutinya dengan terpaksa.
Yap, aku mulai didandani oleh perias yang terlihat wadam(wanita adam). Sebenarnya aku geli melihatnya namun kuajak ia bercanda. Ia pun senang akan candaanku.
Dua jam telah berlalu. Aku sudah lelah duduk. Ingin jalan-jalan. Namun perias mengatakan sebentar lagi akan selesai. Aku melihat Ryosuke sedang membaca majalah, tapi aku melihat kejanggalan. 10 menit kemudian, majalah yang dipegang Ryosuke pun terjatuh dan memperlihatkan kalau Ryosuke sedang tidur. Aku tertawa melihatnya.
Hm, oke, finally. Selesai juga. Aku membuka mataku dan aku terlihat berbeda. Seperti bukan aku. Aku memakai gaun berwarna biru cerah dengan payet-payet indah menyebar, gaun itu menyentuh lututku. Aku memakai flat shoes dengan kaus kaki tipis berwarna putih. Memakai kalung dan anting panjang. Aku berulang kali menatap cermin karena aku tidak biasa dengan semua ini. Perias mengatakan ‘it’s perfect, you are beautiful girl’ 
Aku pun membangunkan Ryosuke. Tiba-tiba ia terpana akan kehadiranku yang berbeda. Ia mengedipkan matanya beberapa kali kemudian tersenyum.
“Tuh kan bagus, kubilang juga apa, kini kau terlihat seperti perempuan sejati.” Kata Ryosuke dan ia merangkulku.
“Oh. Jadi yang kemarin-kemarin aku bukan perempuan sejati? Setengah perempuan, gitu?” aku mencibir. Ryosuke tertawa kecil.
Kini aku berada di dalam mobil Ryosuke. Baru beberapa menit kupakai gaun tersebut namun aku sudah gerah. Aku tak terbiasa memakai gaun yang ketat ini.
“Haah, gerah, padahal sekarang musim semi, seharusnya tidak gerah, uhh.” Kataku, sambil menggaruk kecil leherku.
“Yah kamu, baru saja jadi perempuan sejati, jangan merusak citramu.” Kata Ryosuke, tertawa kecil melihat kelakuanku.
“Iish.” Kataku sedikit kesal. Aku ingin cepat-cepat ganti baju. Ahh!

to be continued
feel free to comment this story, thank you :)