My quote

"life is searched by you, you is searching your life"

Thursday, March 10, 2011

titik.

Berbekal ketidaktanggungjawaban saya dalam mengerjakan tugas akhirnya saya ngacir kesini~ :D

Jadi bingung mau nulis apa,

Selama seminggu ini kuhabiskan sisa liburanku di rumah, bener-bener di rumah, tidak ada kata jalan-jalan walaupun di sekitar rumah. Hm, lumayan bosen tapi gapapa sih, (upaya untuk menambah berat badan juga nih), dan yah selama di rumah aku hanya menjalani tugasku sebagai anak yang baik dan pengertian *?* dan sebagai siswi yang seenggaknya taat kepada sekolah -.- (mengerjakan tugas)
so, this is my life..

Aku ingin sesuatu yang tak ada
Itu mustahil bukan?
Lalu bagaimana dengan teori ketidakmustahilan itu?
Ah munafik
Kau tidak tahu aku, ya jangan sok tahu
Memangnya aku ini dijadikan uji coba ke-sok tahu-an kamu?
Haha, emang gak bisa dipungkiri sih
Luarnya saja yang terlihat dan selalu dipandang
Dalamnya tuh bodo amat
Yang penting gue udah nemuin luarnya yang cocok buat gue
Belakangan lah urusan yang lain
Hah, apaan tuh, gak logis pemikirannya
Kenapa gak dibalik aja
emang kalau lu itu tau kalo ternyata jelek, mau lu apain?
di bongkar pasang?
emang gue mainan bongkar pasang yang digemari anak-anak apa?
gue bukan barang murahan yang bisa di bongkar pasang sesenang hati
mau jadi apa sih lu?

(ngelantur, lagi sensi)
curhatan gaje~

feel free to comment it~ :D

Tuesday, March 1, 2011

Love Life is Like a Long Thread(3)

Cerita sebelumnya : Love life is like a long thread(2)


(AIKO)
Aku kembali menuju kelas karena ada buku yang tertinggal di loker. Buku itu sangat berharga mengingat beberapa waktu lalu dosen menyuruh mahasiswanya untuk mengerjakan tugas yang diberikan, kebanyakan caranya ada di buku itu. Aku juga sempat berbincang lama dengan Lucy, yang ternyata ia masih di kelas alias belum pulang.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Langit telah menunjukkan warna kemerahan yang sebentar lagi akan berubah gelap. Aku pun menyegerakan pulang dengan Lucy.
Sepertinya cuaca sedang tidak bersahabat denganku. Tak lama setelah Lucy pergi meninggalkanku di sebuah halte bis,yang tak jauh dari kampus,seketika hujan deras. Aku pun mencari payung di tasku namun ternyata tertinggal di rumah. Sial, bagaimana aku bisa pulang dengan cuaca hujan deras ini?
(ARISA)
Aku dan Yuma masih berbincang sepulang kuliah mengingat aku sudah lama sekali tidak bertemu dengannya, aku, notabene adalah sahabat dia, sangat ingin menceritakan hal-hal yang sudah kulalui. Yuma adalah laki-laki paling pengertian yang pernah aku temui, setelah Ryosuke.
Seperti biasa yang sudah-sudah, aku menjadi pembicara sedangkan Yuma sebagai pendengar. Dia sangat setia mendengarkan ocehanku yang panjang sekali, tanpa titik dan koma. Heran, ia kok betah yah menjadi seperti ini, padahal ia tipe laki-laki pengertian, mengapa jarang sekali perempuan yang ingin mendekatinya?
Kembali ke topik. Aku sama sekali tidak pernah melihat wajah mengeluh Yuma saat ia mendengarkan pembicaraanku atau memberikan komentar(yang terkadang pernyataanku tidak sudi untuk dikomentari).
Tak lama, Ryosuke datang menghampiri dengan wajah kesal.
(AIKO)
Bagaimana ini? Aku sudah 1 jam menunggu disini namun hujan masih deras juga? Aku tak berani menelepon bibiku untuk menjemputku karena aku tak ingin merepotkannya. Aku berpikir tentang solusi dari semua ini. Aku tidak mau dengan keterlambatanku sampai rumah mempengaruhi kualitas tugasku. Tak lama, sebuah mobil sedan bermerk Honda itu datang mendekat.
Terlihat seseorang memakai topi dan t-shirt di dalam mobil tersebut. Ia pun membuka jendela mobil dengan kunci otomatis.
“Hei kau, ikut denganku saja.” Katanya. Awalnya aku tidak mengenalinya tapi setelah ia membuka topi, aku sangat mengenalinya.
“Ahh, tapi, apa tidak merepotkanmu?” tanyaku dengan volume suaraku dikeraskan sedikit agar terdengar. Suasana disini sangat ramai dengan gemericik air hujan.
“Tidak apa-apa, daripada kau sakit, ayo masuk.” Katanya. Akhirnya aku pun mengalah dan masuk ke dalam mobil.
“Hmm, sebelumnya makasih yah.” Kataku.
“Ohh ya gapapa, sama-sama. Entah mengapa aku merasa kasihan saja melihat perempuan di halte bis, sendirian, dan hujan deras pula.” Katanya. Mukaku sedikit memerah.
“Makasih yah.” Kataku. Jujur, aku kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan Yuto tadi. Baru saja aku berkenalan dengan laki-laki ini dan tampaknya kami langsung dekat karena kebaikannya.
(ARISA)
“Ris, ayo ikut aku sebentar.” Kata Ryosuke, menarik tanganku.Aku pun berpamitan dengan Yuma, ia hanya tersenyum.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kamu ini.. sudah berkali-kali aku kirim pesan tapi mengapa tidak kau balas?” tanyanya, masih dengan wajah hendak marah.
“Eh? Chotto..” kataku, dan segera memeriksa handphone. Ternyata benar juga, sudah ada 6 pesan dan semuanya berasal dari Ryosuke.
“Eetto, gomennasai.” Kataku membungkukkan sedikit badanku, aku merasa bersalah.
“Ahaha, bercanda kok. Oya kau mau tidak menemaniku jalan?” kata Ryosuke. Hm, padahal aku pacarnya dia, seharusnya ia lebih peka kalau aku dengan senang hati akan menemani dia dan begitupun sebaliknya.
“Boleh kok, kapan? Boleh aku ajak Yuma?” kataku.
“Yuma? Siapa dia?” Tanya Ryosuke, heran karena aku mengatakan seorang nama laki-laki kepadanya.
“Itu, dia sahabatku dari kecil, dan baru bertemu sekarang. Dia penduduk baru disini loh, makanya, untuk mengenalkan kota ini, boleh kan aku ajak dia jalan-jalan, juga?” kataku, dengan agak hati-hati aku mengatakannya.
“Ohh, boleh kok, dengan senang hati.” Kata Ryosuke, aku pun tersenyum dan menggandeng tangan Ryosuke untuk pergi dari tempat itu.
(AIKO)
Hmm, orang itu baik sekali mau mengantarku sampai rumah, padahal aku baru pertama kali kenal dan jumpa dengannya, mengapa dia terlalu baik kepadaku? Batinku. Jujur, ini pertama kalinya aku melihat dan merasakan kehangatan seorang laki-laki yang baru kukenal, (padahal aku merasa saat pertama kali aku bertemu Ryosuke, ia tidak menunjukkan kehangatan seperti itu). Aku masih terbayang kejadian tadi siang, sore dan malam ini. Yuto berbincang-bincang denganku disini hingga larut yang kemudian aku pun menyuruh dia pulang. Apa mungkin aku suka dengannya?
(ARISA)
“Okee, sekarang kita akan kemana Ryosuke kun?” kataku, sambil memandang Ryosuke yang berada disebelahku.
“Ahh, apa aku tidak mengganggu acara kalian?” Tanya Yuma. Mungkin ia merasa tidak enak dengan kami.
“Hm, gapapa kok, supaya kamu tak jenuh di rumah.” Jawab Ryosuke singkat. Kelihatannya ia sedang memikirkan sesuatu.
“Jadi, kita akan pergi kemana dulu?” tanyaku, lagi.
“Aku ingin membeli kado untuk nee-san, ikku.” Kata Ryosuke sambil menarik tanganku, diikuti oleh Yuma. Dan kami pun menikmati acara hari ini.
(AIKO)
Kejadian manis itu selalu berulang, ketika suatu hari..
Aku pulang dengan langkah malas. Sudah ketiga kalinya tugasku ditolak oleh dosen karena masih belum lengkap(sebenarnya aku bingung dengan keinginan dosen yang kuanggap itu aneh). Sialnya, hari ini aku ada janji dengan bibiku untuk menemaninya, sedangkan tugasku belum selesai kukerjakan. Harus bagaimana aku?
Aku tidak tahu persimpangan ini merupakan persimpangan untuk kumpulan laki-laki iseng. Aku berusaha fokus ke depan dan berjalan tegap agar aku menghiraukan gurauan sekumpulan laki-laki itu. Hingga suatu ketika sekumpulan laki-laki itu menghadangku.
“Halo cewek manis, kau mau pergi kemana sayang? Sudah tidak ada tempat untukmu pergi.” Kata laki-laki yang kupikir dia itu ketua geng tersebut. Kunamakan laki-laki I
“Iya, sebaiknya kau ikut kami saja, pergi bersenang-senang.” Kata laki-laki II. Aku segera mencari akal untuk bisa pergi, namun mereka semakin mendekat.
“Ayo cewek manis, ikut kami saja.” Kata laki-laki III melebarkan tangannya kepadaku.
“Tidak mau!” kataku, menampar tangan laki-laki III itu.
Mereka terus mendekat hingga ada seorang yang memegang pinggangku.
“Kau mau pergi kemana? Sudah tidak ada tempat untukmu lari, dan kau, sudah ada di genggaman kami. Hahahahaha.” Kata laki-laki IV, tertawa, disusul dengan kawan-kawannya yang lain. Kakiku gemetar, aku tidak tahu harus berbuat apa selain berdoa, mudah-mudahan tuhan memberikanku jalan yang terbaik.
Aku tidak bisa berbuat apapun karena tanganku sudah dicengkram dengan keras oleh 2 pria berbadan besar, aku merasa kesakitan. Laki-laki I membelai rambutku, aku mulai meronta-ronta karena aku tidak mau dipegang oleh siapapun. Lalu, laki-laki II mulai memegang pipiku dan membelainya. Ia tertawa puas sementara aku merasa tertekan. Sebelum laki-laki III memegang yang tidak k diperbolehkan(disana aku seperti perempuan kesetanan saking tidak tahan melihat sikap mereka yang semena-mena terhadapku), datanglah seorang laki-laki yang langsung menghajar muka laki-laki III. Merasa tidak diterima, laki-laki III itu menghajar kembali. Pertarungan pun terjadi.
20 menit kemudian berlalu, laki-laki penyelamat itu berhasil menyelamatkanku. Tubuhku terlalu lemah untuk menjelaskan semuanya yang tiba-tiba semua berubah hitam.
(ARISA)
Kami(aku, Ryosuke dan Yuma) sudah merasa sangat lelah berjalan, sebenarnya mengelilingi Shibuya yang hari ini padat dikunjungi orang. Hari yang menjelang sore juga membuat moodku berubah. Aku hanya lebih banyak diam dan terkesan cuek. Ryosuke hanya memperhatikan sekitar kalau-kalau ada baju yang cocok untuknya sedangkan Yuma berjalan dengan dinginnya sambil menikmati hiruk pikuk daerah Shibuya.Kami berjalan menyusuri pertokoan hingga langkah kami terhenti di sebuah café untuk beristirahat.
“Kau akan pesan apa?” Tanya Ryosuke kepadaku dan Yuma. Aku mengangkat pundakku menandakan terserah sedangkan Yuma hanya mengatakan “aku ingin softdrink saja.”
Kami menikmati pesanan dalam diam. Tak banyak bicara seperti awal kami akan jalan-jalan. Aku pun membuka suara.
“Habis ini kalian ingin kemana?” tanyaku, menatap Ryosuke dan Yuma.
“Hm, gak tau.” Kata Yuma singkat.
“Bagaimana kalau kita nonton saja? Sudah lama sekali aku tidak menonton di bioskop.” Kata Ryosuke mengajukan usul. Hm, sepertinya menarik usulan Ryosuke itu.
“Aku sih ingin-ingin saja, kalau Yuma mau tidak ikut?” kataku, menanyakan pada Yuma.
“Boleh saja, aku juga ingin kesana.”
Setelah menghabiskan pesanan, kami langsung pergi ke bioskop untuk menikmati film. Banyak sekali orang-orang yang sedang mengantri untuk mendapatkan tiket. Kebanyakan para penikmat film itu adalah pasangan anak muda. Hm, anak muda zaman sekarang. Ahh, untunglah, aku tidak hanya dengan Ryosuke tapi juga dengan Yuma sehingga aku tidak merasa canggung jika berada dekat dengan Ryosuke.
Aku kira Ryosuke membeli film dengan genre petualangan, salah satu genre yang aku sukai, namun ternyata ia membelikan genre horror. Aku tidak suka dengan genre itu. Awalnya aku ingin pulang saja tapi Ryosuke melarangku dan harus ikut bersamanya. Rela tak rela aku pun mengikutinya, dengan sangat terpaksa.
Sepanjang film itu diputar, aku selalu menutup mataku untuk tidak menontonnya. Sesekali mengintip sedikit, tapi tak jarang juga aku kaget karena gambar-gambar hantu itu selalu membuatku kaget.
Lampu-lampu bioskop dinyalakan pertanda film sudah habis. Aku masih dalam keadaan mata tertutup, aku tidak tahu bahwa film itu sudah usai. Ryosuke pun memanggilku.
“Ris, Arisa, filmnya sudah selesai.” Katanya dengan lembut. Perlahan aku membuka mata, kini di depanku terdapat bentuk wajah mirip hantu yang tadi. Spontan aku berteriak hingga bergema.
“AAAH!!! Ampun ampun, saya gak mau liat film itu lagi. Gila! Lama-lama bisa jantungan!” kataku sambil mengelus dada.
Kini terdengar hanya bunyi ketawa Ryosuke yang melihat ekspresiku tadi.
“Hahaha, ini aku, Ryosuke, hei.Ekspresimu membuatku ingin tertawa lagi tau.” Katanya. Aku memandanginya dengan wajah masam.
“Bercanda bercanda. Udah yuk kita pulang. Ayo Yuma.” Kata Ryosuke, menggandenga tanganku dan kami(aku, Ryosuke, Yuma) pergi dari bioskop itu.
(AIKO)
Aku mulai membuka kedua mataku pertanda aku siuman, tapi aku tidak tahu sekarang aku berada dimana. Ruangan ini terlihat putih sekali.
“Syukurlah kau sudah siuman.” Kata Yuto, sambil memegang keningku, menaruhkan termometer di lidahku dan mengecek suhu tubuhku.
“Aku ada dimana sekarang?” tanyaku lemah.
“Kau berada di rumah sakit, untunglah pemuda-pemuda tadi tidak berbuat macam-macam kepadamu.” Kata Yuto, terlihat mengkhawatirkanku. Ya, aku ingat kejadian beberapa waktu lalu. Oh sial, aku tidak mau mengingat-ingat itu lagi, rasanya ingin mati saja.
Aku hanya mengangguk lemah. Dan aku kembali memejamkan mata.
Keesokan paginya…
Jam telah menunjukkan angka delapan bagian Jepang. Aku terbangun. Di sofa besar itu terlihat Yuto sedang berbaring sambil memejamkan mata, dengan terpaan sinar matahari yang hangat itu, membuat wajahnya terlihat kalem, damai dan tenteram. Dia pemuda yang amat baik, mau mengurusiku yang sebenarnya ini bukan kesalahan dia.
Aku beranjak dari tempat tidur, namun tubuhku tidak dapat menahan keseimbangan, akhirnya aku limbung dan terjatuh. Itu membuat Yuto pun terbangun.
“Kau tak apa? Aku bantu kamu berdiri yah.” Dengan sigap Yuto menggendongku untuk naik ke tempat tidur lagi.
“Maaf merepotkanmu, sebenarnya aku bosan sekali hanya berbaring saja…”
“Ohh gitu, baiklah, ayo kita jalan-jalan sebentar, mungkin dengan itu mood-mu akan lebih baik.” Kata Yuto, tersenyum. Tanpa sadar mukaku memerah.
“Boleh boleh.” Kataku. Yuto segera mengambil kursi roda yang ada di lemari dekat kamar mandi dan kami pun berjalan sebentar.
Kami berhenti di sebuah taman rumah sakit. Indah sekali, ditambah dengan udara yang sejuk membuat nyaman taman ini. Kami berbincang-bincang disana dan sesekali tertawa ketika Yuto membuat suatu lawakan. Tanpa sadar aku mulai menyimpan rasa.
“Apakah mood-mu sudah membaik hari ini?” Tanya Yuto, mendorong pelan kursi roda yang kududuki.
“Baik sekali, kapan aku akan pergi dari sini?” tanyaku, terkesan kasar namun aku memang tidak suka dengan suasana berbau obat.
“Mungkin sekitar 2 hari lagi. Tenang saja, ada aku yang mau nemenin kamu.” Kata Yuto sambil membusungkan dada.
“Okee, aku berharap akan lebih cepat keluar maka akan lebih baik.”
(ARISA)
“Kalian kenapa hei. Daritadi diam saja.” Kata Ryosuke, memecah keheningan yang selama ini menghantui suasana dalam mobil Ryosuke.
“Gapapa kok Ryo.” Yuma tersenyum yang dibalas oleh Ryosuke.
Ryosuke pun menyalakan musik di mobil, sehingga ada suara lain yang memecah keheningan.
15 menit kemudian, oh tidak. Itu bereaksi kembali. Aku memegang dadaku yang kini mulai terasa nyeri, rasa yang sudah lama hilang itu muncul kembali. Aku hanya merintih kesakitan. Aku mulai memegang tangan Ryosuke.
“Ada apa Ris?” tanyanya. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ryosuke menghentikan mobilnya dan menyalakan lampu depan.
“Ris, kau kenapa?!” tanyanya, sedikit panik melihatku merintih kesakitan.
“Aku…aku…” kataku dan semua berubah gelap.
(AIKO)
Akhirnya aku bisa keluar dari suasana statis ini. Aku menghirup udara segar karena tak harus berteman dengan hasil rancangan kimia itu. Yuto mengantarkanku sampai ke rumah. Aku merasa senang karena masih ada orang yang mau peduli denganku. Bibi merasa khawatir terhadapku namun Yuto berkata aku akan baik-baik saja. Ah, kata-kata itu terasa menenangkan.
Aku terbangun di sebuah ruangan. Putih. Di tengah terdapat sosok perempuan memakai baju putih panjang. Aku tak tau itu siapa. Karena penasaran, aku berjalan mendekatinya. Kupegang pundaknya, ternyata dia sedang menangis. Dia pun memalingkan mukanya, yang ternyata itu Arisa. Ia berkata “aku sudah tak mampu bertahan, apakah aku masih sanggup berada disini?”. Aku terheran mendengar kata-kata Arisa. Aku hendak menanyakan maksudnya tapi ia sudah menghilang bersama debu putih yang mengelilinginya.
(ARISA)
“Ris..Risa..bangun.” kata Ryosuke mengguncangkan tubuhku, yang menyebabkan aku tersadar.
“Aku…aku dimana?” kataku bersuara lemah. Seperti keadaan di rumah sakit.
“Kau sekarang ada di rumah sakit, kau pingsan tanpa sebab.” Kata Ryosuke, terlihat sangat mengkhawatirkanku.
“Eh??” kataku, berusaha mengingat tapi membuat kepalaku sakit. Ryosuke mengisyaratkanku untuk tidak berpikir lebih keras. Ryosuke membantuku duduk dan memberi segelas air putih.
“Minumlah agar kau terlihat mendingan.” Kata Ryosuke.
“Terima kasih, oya, Yuma mana?” kataku, karena seingatku Yuma bersama kami.
“Ooh, dia sudah pulang duluan, katanya ada urusan mendadak sehingga dia harus pulang ke rumah lebih awal.” Kata Ryosuke, nada bicaranya sedikit aneh, batinku.
Kau itu pendusta handal. Derap kaki seseorang pun mulai lenyap dari sebuah kamar.
(AIKO)
“Aiko san.” Kata Yuto memanggilku saat aku baru sampai di kampus.
“Yah? Ada apa?” tanyaku.
“Kondisimu sudah mendingan?” Tanya Yuto.
“Yah, seperti yang telah kau lihat saat ini, bagaimana?” kataku, sedikit bercanda. Yuto menyenggol lengan kananku sebagai respon.
“Haha, ternyata kau pandai melawak.” Canda Yuto.
“Iya dong, hahahaha, eh, aku ke kelas duluan yah.” Kataku.
Aku pun meninggalkan Yuto, mungkin ia akan ke kelasnya. Ya sudahlah.
-- Penulis tidak sedang dalam keadaan baik --

Mau apa kamu kembali ke dalam kehidupanku? Padahal kamu sudah menemukan kehidupan yang lebih baik disana? Kamu masih memaksakan untuk kembali ke kehidupanku, yang jelas-jelas kehidupan barumu dipastikan akan lebih baik daripada kehidupan lamamu. Tak tahu harus berkata apa, tapi itu memang kenyataan. Buktinya kau lebih diunggulkan daripada dulu. Kau lebih banyak berteori fakta dibanding dulu, berteori tidak tentu arah.
Kau lebih bertingkah peduli sekarang dibandingkan dulu. Apa dulu kau adalah seseorang yang tidak peduli? Atau apakah itu sudah menjadi sifat dasarmu? Kau telah mengalami masa-masa dimana cara berpikirmu berubah.
Aku ikhlas kok menjalani semuanya, sendirian. Aku memang tidak akan sempurna kalau tidak ada kejadian itu, tapi aku akan berusaha sempurna tanpa harus ada kejadian itu. Aku akan menjadi seorang yang diremehkan, mungkin. Tapi, itu akan lebih baik dibandingkan tidak diakui. Aku akan menjalani menjadi seorang yang lebih statis dari ini, tapi itu lebih baik dibandingkan dinamis yang palsu.
Aku memang sangat butuh itu, tapi kalau takdirku memang berkata lain, aku akan ikhlas menerimanya.
Terima kasih atas semua kerjasamanya, yang mau memmbantuku, merawatku dengan susah payah, membangun kepribadianku ini yang makin tak tentu arah menjadi satu arah.
Terima kasih buat semua, walau tidak bersama, tapi tidak akan hilang kok dari catatan perjalanan hidupku di dunia.
Mungkin ini bisa ditanggapi,

Thursday, February 3, 2011

Love life is like long thread (2)

Cerita sebelumnya : +Love life is like long thread (1)+

Kami pun sampai di gedung pesta. Sampai saat ini aku masih tidak tahu sebenarnya Ryosuke mengajakku datang ke pesta siapa. Kami pun masuk. Lampu-lampu yang gemerlapan tersebar dimana-mana. Dengan warna lampu yang tidak terlalu terang membuat pesta terlihat mewah. Dekorasi pesta yang bagus juga memperindah suasana. Makanan dan minuman yang berjejer rapi di atas meja putih panjang, serta karpet merah yang menyusun lantai gedung ini membuatku terpana beberapa saat. Keren dekorasinya!
Ryosuke memperkenalkanku kepada seorang temannya yang ternyata ia yang membuat pesta ini untuk merayakan ulang tahunnya dan keberhasilannya dalam merilis album yang kini albumnya masuk ke nominasi album terlaris di negeri Jepang ini.
Akhirnya kuketahui salah satu teman Ryosuke yang ia perkenalkan bernama Aoi. Perlu kudeskripsikan? Ia mempunyai tinggi 183 cm, berambut pirang asli, gaya rambut harajuku dan berwarna mata kelabu. Awalnya aku mengira ia memakai lensa kontak, namun ia berkata bukan, itu adalah warna asli matanya karena ia menuruni gen ayahnya yang berkewarganegaraan Italia. Keren sekali.
Sesi puncak acara akhirnya tiba. Aoi maju ke panggung, mengucapkan terima kasih karena sudah mau menghadiri pestanya, juga ia menyanyikan salah satu lagu dari album terbarunya. Aku terkagum-kagum karena ia mempunyai suara yang sangat bagus. Juga permainan biolanya yang terlihat sangat professional. Aku sangat senang bisa berkenalan dengannya.
“Sepertinya kau sangat menikmati pesta ini, bagaimana,seru bukan pestanya?” kata Ryosuke, memberikanku segelas minuman.
“Ahaha, makasih yah telah mengajakku datang kemari.” Kataku tersenyum, sambil meminum yang Ryosuke berikan padaku.
“Okee, kau bahkan sampai lupa tentang gerutumu sebelum datang kemari.” Canda Ryosuke. Aku pun teringat, aku pura-pura kesal dengan Ryosuke.
“Ohh iyaiya, aku LUPA.” Kataku. Masih berpura-pura kesal.
“Baru sebentar pesta dimulai, tapi rambutmu sudah terlihat berantakan, sini aku rapihkan.” Kata Ryosuke dan segera merapihkan rambutku. Tumben ia peduli dengan penampilanku?
“Ahh, iyaiya, maaf deh. Lain kali aku bawa sisir biar rambutku terlihat rapih.” Kataku. Namun Ryosuke masih tetap saja merapihkan rambutku.
“Sudah selesai, oya, jangan diberantakin lagi, oke? Ahh, aku mau ke toilet, sebentar saja.” Kata Ryosuke dan lari meninggalkanku. Mungkin ia sudah ingin sekali pergi ke toilet.
Tak terasa kini sudah pukul 10 malam. Aku harus cepat-cepat pulang ke rumah supaya tidak dimarahi oleh mama. Dan, gedung pesta ini sangat jauh dari rumahku, membutuhkan waktu sekitar 40 menit, jadi jika dipikir-pikir aku akan sampai di rumah pukul setengah sebelas. Aku segera meminta Ryosuke untuk mengantarku pulang.
“Sudah larut malam, aku takut dimarahi mama, bagaimana kalau kita pulang sekarang?” kataku, sambil menarik pelan lengan Ryosuke.
“Aoi, pulang duluan yah, makasih hidangannya.” Kata Ryosuke.
“Oke sama-sama, terima kasih telah datang Arisa san.” Kata Aoi tersenyum, aku pun membalasnya dengan senyum. Lalu aku cepat-cepat menarik Ryosuke keluar.
“Tumben di luar dingiin sekali. Brr…” kataku, mendekapkan tanganku dan menggosok pelan. Cuaca malam ini sangatlah dingin, aku tak kuat.
“Ini, pakailah jasku supaya kau tidak kedinginan.” Kata Ryosuke memberiku jas yang ia pakai.
“Kau tidak dingin?” kataku sambil memakai jas yang Ryosuke kasih tadi.
“Ahh tidak, aku kan sudah memakai kemeja dan baju polos di dalam hehe.” Kata Ryosuke, nyengir. Aku tertawa pelan. Baguslah ia sekarang dalam keadaan baik-baik saja, aku tak mau melihatnya terbaring sakit lagi.
“Ayo kita pulang.” Kataku, berjalan menuju parkiran tempat mobil Ryosuke berada. Ryosuke membuka kunci otomatis mobil lalu masuk bersama.
Kami terdiam sepanjang perjalanan, aku sibuk menghangatkan diriku karena terlalu dingin dan Ryosuke sibuk menyetir, menatap jalanan yang lumayan macet saat itu.
“Masih kedinginan?” tanyanya sambil menoleh ke arahku.
“Brr, iya, lumayan.” Kataku, dan aku pun mencoba tidur saat Ryosuke tidak berkata apapun lagi.
(AIKO)
“Ryo..Ryo..Ryosuke!” teriakku. Aku bermimpi buruk tentang Ryosuke, apa maksudnya ini? Aku segera menelepon Ryosuke untuk menanyakan keadaannya. Syukurlah, ia tidak apa-apa.
Pagi hari telah tiba. Aku segera bersiap-siap menuju kampus untuk menuntut ilmu. Juga berkenalan dengan teman-teman baru.
Tidak ada yang spesial mengenai kelasku. Bertempat di tengah gedung fakultas, bernomor 2-B, bercat dinding kuning pucat dengan kursi personal yang berjejer dengan rapi, rak-rak penuh buku yang menghiasi di sudut kelas dan papan tulis besar yang ditempel di dinding kelas. Kelas 2-B dikatakan kelas pintar karena tidak sembarangan mahasiswa mendapatkan kelas ini. Hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu dengan passing grade tes yang termasuk 20 besar yang bisa mendapatkan kelas ini.
Aku berkenalan dengan salah seorang mahasiswi bernama Lucy. Ia senang mengobrol denganku walaupun hari itu adalah hari pertamanya untuk mengajakku mengobrol. Kami berbincang tentang kebiasaan kami masing-masing. Didapatkan olehku bahwa ia adalah orang yang supel, easygoing dan berwawasan luas. Ia berkewarganegaraan Amerika dan Perancis. Ayahnya berasal dari Amerika sedangkan ibunya berasal dari Perancis. Ia juga fasih berbahasa Perancis karena masa SD dan SMP ia habiskan di negeri menara Eiffel itu.
(ARISA)
Seminggu berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa, pengumuman tes universitas itu sudah muncul. Aku segera bersiap-siap pergi ke tempat dimana pengumuman itu akan diumumkan.
“Kau tidak makan dulu Ris?” kata mamaku yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
“Nanti saja Ka-chan, Risa pergi dulu…” kataku, buru-buru menuruni tangga dan berlari menuju pintu keluar rumah.
“Eeh, tunggu dulu.. ini mama bawakan roti selai kesukaanmu.” Kata mamaku, berlari ke arahku yang sedang menali tali sepatu di beranda rumah.
“Ahh iya iya, makasih Ka-chanku tersayang, Risa pergi dulu, bye!” kataku, berlari menuju pagar kemudian berjalan yang tidak terlalu jauh dari rumahku.
Aku memperhatikan satu persatu urutan nomor ujian. 2681.. ah bukan, nomor ujianku masih jauh dari itu. 2864..2867..2870! ah! Ternyata Ryosuke diterima, bagaimana denganku? Aku sudah mulai putus asa mencari nomor ujianku. 2976…2980..2986! ah! Aku..aku.. DITERIMA!
(AIKO)
Aku sedang menikmati waktu istirahatku, tiba-tiba handphoneku berdering. Arisa meneleponku!
“Aiko..aiko, hallo?” kata Arisa kepadaku.
“Iya ini aku, kenapa Arisa?” Tanyaku lembut.
“Aku..aku diterima!” kata Arisa di seberang sana, menunjukkan kebahagiaannya, aku hanya tersenyum yang pastinya tidak akan diketahui Arisa.
“Wah iya? Bagaimana dengan Ryosuke?” Tanyaku.
“Iyaa, dia juga diterima di universitas yang sama, tapi kami berada di fakultas yang berbeda.” Kata Arisa girang sekali kedengarannya.
“Wah? Kapan-kapan aku mau main kesana, boleh kan? Aku bosan disini.” Kataku jujur.
“Pastinya boleh dong, sejak kapan kita putus menjadi sahabat?” Tanya Arisa.
“Ehehehe, benar juga..” kataku. Hubungan kita renggang karena kita menyukai orang yang sama dan itu adalah sahabat kita sendiri!
(ARISA)
“Mana nih nomor ujianku? Katanya diterima?” kata Ryosuke yang baru datang, langsung meghampiri sekumpulan orang yang berdiri di depan papan pengumuman. Aku berada diantara kerumunan orang tersebut. Ryosuke tahu dariku yang baru saja dikirim pesan olehku.
“Hapal gak nomormu? Kalau gak hapal sama aja, kau gak akan tahu kamu diterima atau tidak.” Kataku dingin yang sebenarnya menertawakannya dalam hati.
(AIKO)
Arisa menceritakan keanehan Ryosuke kepadaku. Ia bercerita kalau Ryosuke memberi kotak merah kepada Arisa. Keringat dingin mulai mengucur di dahiku. Tiba-tiba kepalaku terasa pening, rasanya seperti diputar oleh seseorang, yang tanpa sadar aku pingsan seketika.
(ARISA)
Aku membuka kotak yang diberi Ryosuke. Sebuah kotak kecil berwarna merah, dihiasi renda-renda bunga putih di sekelilingnya. Di tengahnya dihiasi permata imitasi yang berbentuk bunga-bunga. Bagus sekali. Didalamnya ada liontin putih bergambar lumba-lumba, hewan kesukaanku. Hm, tumben sekali ia ingat dengan hal seperti itu. Aku tiba-tiba ingat saat Ryosuke bertanya kepadaku dan Aiko mengenai hewan yang disuka, dan aku menjawab lumba-lumba sedangkan Aiko adalah kucing.
“Aiko, kau lama sekali membalasnya, kau kenapa?” tanyaku dalam hati. Hm, apa ia masih menyimpan rasa sukanya kepada Ryosuke? Ahh, mungkin. Dia bukan orang yang tepat untukku bisa bercerita. Aku harus bagaimana? Semoga Aiko tidak kenapa.
(AIKO)
“Tenang Aiko, tenang, kau pasti bisa menahan rasa sakit ini.” Kataku, berusaha tegar dan menjawab mail Arisa tentang arti kotak merah itu. Ini sih hanya sekadar kepercayaanku bahwa jika ada seorang laki-laki yang memberi kotak merah kepada seorang perempuan maka artinya laki-laki tersebut mau dan berusaha untuk menjalani hubungan serius dengan perempuannya itu. Aku menangis. Mungkin ini hal bodoh dan sepele, tapi mungkin juga aku sudah telanjur suka dengan laki-laki dan itu jarang aku dapatkan. Yang kudapatkan sekarang adalah perasaan lebih dari suka, mungkin inikah cinta?
(ARISA)
Ahh, mungkinkah ia tak marah kepadaku? Tapi ia masih mau membalas pesanku. Aku tak yakin. Aku harus bagaimana sekarang? Meminta maaf atau membiarkan itu semua? Jika aku meminta maaf nanti dia bingung mengapa aku berbuat seperti itu, tapi kalau dibiarkan? Hm, sebaiknya aku biarkan untuk beberapa saat. Maafkan aku teman yang sudah merusak hari-hari bahagiamu.
(AIKO)
Seminggu yang akan datang, bibiku akan berulangtahun. Aku mulai sibuk dengan persiapan pesta yang nantinya akan dihadiri rekan-rekan bisnis bibi yang pastinya kaya-kaya semua. Mau tidak mau harus memperhatikan sekali mengenai penampilan. Jauh-jauh hari bibiku sudah memesan gaun untukku dipakai di pesta ulangtahun nanti. Bibiku juga berpesan agar tidak bertingkah memalukan di pesta nanti karena bisa merusak citra yang terpancar. Iya aku tahu, tanpa dikasih tahu pun aku akan menjaga tingkah lakuku. Aku hanya mengangguk-angguk menanggapinya.
(ARISA)
Ryosuke mengajakku belajar bersama, yang tanpa kusadari ia akan melakukan sesuatu yang membuat waktu berhenti berputar beberapa detik!
Kami(aku dan Ryosuke) berada di sebuah taman kecil dekat rumahku. Kami duduk di bangku taman di tengah taman depan air mancur kecil yang bertugas memperindah taman. Aku sedikit canggung karena aku tak biasa diajak Ryosuke diajak ke tempat serindang dan sesunyi ini.
“Apa yang ingin kau tanyakan kepadaku? Oya, kita kan beda fakultas, memangnya ada pelajaran yang sama?” Tanyaku, polos. Sebenarnya aku bingung harus memulai apa pembicaraan kami ini.
“Hm, lebih penting dari ini, mungkin kau tidak akan sadar.” Kata Ryosuke, suasana berubah menjadi serius, aku makin heran dan bingung.
“Suasana di taman enak sekali yah, jarang-jarang aku bisa merasakan keindahan ini, aku tidak mau semuanya berakhir begitu saja. Sama seperti seseorang yang sudah menemaniku sejak lama, aku tidak mau berakhir dan menghilang dari hadapanku. Aku ingin terus bersamanya.” Kata Ryosuke, sepertinya ia ingin curhat denganku.
“Siapa seseorang itu?” kataku.
“Aku ingin selalu bersamanya, jika tuhan mengizinkan, mungkin, aku bisa bersamanya, selalu.” Kata Ryosuke.
“Aku ingin kau selalu bersamaku, aku tidak ingin kau menghilang dari hadapanku, apa kau mau, menjadi pendampingku?” Tanya Ryosuke. Ia sama sekali tak menatapku. Pandangannya hanya terfokus ke satu arah. Ia menembakku.
“Eh? Kau..serius?” kataku, mengerutkan dahi karena aku masih bingung. Ryosuke hanya mengangguk lemah dan menatapku.
“Ahh, gimana yah..” kataku, mengalihkan pandanganku dari Ryosuke. Aku bingung sekarang.
Ryosuke tersenyum.
“Tak apa kalau kau tak mau jawab sekarang.” Kata Ryosuke, dengan suara yang lebih terdengar berbisik-bisik.
“Bu..bukan itu maksudku.. tapi..” kataku gugup, aku bingung harus berkata apa.
“Ehm, aku..aku..bersedia.” kataku, memejamkan mataku sambil mengacungkan kedua jempolku. Perlahan aku membuka mataku, terlihat Ryosuke sangat senang dengan keputusanku.
“Ahh, kau memang sahabat..eh pacarku yang baik!” kata Ryosuke sambil merangkulku.
(AIKO)
Aku sedang membuat adonan kue untuk suguhan makanan ringan di pesta nanti. Aku dibantu oleh saudara-saudaraku yang tinggal berdekatan dengan bibiku. Entah apa yang merasukiku kali ini, aku akan membuat kue yang termasuk kue favorit yang sering kubuat untuk Ryosuke. Ah, aku kembali mengingatnya. Perasaanku masih sakit namun sudah tidak seperti dulu lagi, mungkin kalau aku bertemu dengannya aku tak yakin perasaanku akan baik-baik saja.
(ARISA)
“Aachan.” Kata Ryosuke sambil menjilati es krim cone yang baru kami beli.
“Ya?” tanyaku.
“Entah mengapa aku ingin membuat kue, bagaimana kalau nanti sore kau ke rumahku untuk membantuku membuat kue?”
“Eh? Apa tidak mengganggumu?” kataku, merasa tidak enak.
“Ahh, tentu saja tidak. Mau yah?”
“Benar nih? Nanti malah aku merusak kue buatanmu, aku kan tidak bisa memasak.” Kataku.
“Hahaha, tenang saja, tak apa, aku lebih senang kita membuatnya, karena kita membuatnya dengan rasa cinta…”
“Eh?” sambil menunjukkan muka datar.
“Belum selesai nih kalimatnya, yah, walaupun akhirnya akan berantakan.” Kata Ryosuke dengan nada menyindir.
“HAHA, maksudnya apa yah?” kataku dengan menunjukkan tatapan sinis ala canda.
(AIKO)
“Fuuh, yokatta. Jadi juga akhirnya.” Kataku, mengusap keringat yang mengalir di dahiku. Ini kue terakhir yang akan disusun menjadi menara kue yang nantinya akan ditaruh di tengah meja. Semoga saja rasanya enak, batinku. Bibiku terkagum-kagum melihat hasilnya dan menyuruhku untuk segera berbenah diri supaya aku tampil cantik di pesta nanti.
* *
30 menit lagi aku harus sampai di acara pesta, padahal aku masih berdandan di salon yang jaraknya jauh dari rumah bibiku. Aku meminta kepada perias agar disegerakan namun perias ini termasuk tipe lamban dalam bekerja, mau tidak mau aku harus menunggu. Namun begitu melihat hasilnya, aku senang sekali karena make up ini adalah yang paling cocok untukku.
Aku segera masuk dan menyetir dengan kecepatan 80 km/jam. Cepat sekali. Jantungku terasa akan copot ketika mengendarainya. Tapi ini demi bibiku yang beliau itu tidak mau aku datang terlambat ke pestanya. Mau tidak mau aku pun menuruti perkataannya.
Bibiku terlihat bahagia ketika melihatku sudah sampai. Hm, tidak seperti biasanya tapi aku senang karena disambut dengan sukacita. Bibiku langsung menarikku untuk ikut ke dalam percakapan ibu-ibu (yang mungkin terdengar norak percakapannya) sembari mengenalkanku kepada rekan-rekannya. Suami bibiku hanya tersenyum mendengarnya.
Huft.. aku sudah mulai bosan. Aku pun keluar dari percakapan rekan-rekan bibiku untuk mengambil segelas minuman sirup. Aku baru mengambil ketika ada seorang laki-laki yang tak sengaja menumpahkan minumannya kepadaku. Ahhh!
“Eh? Sorry tidak sengaja, kau tak apa?” Tanya laki-laki itu.
“Ahh, daijoubu desu ne, hanya sedikit basah dan lengket karena kau menumpahkan sirup.” Kataku, berusaha dingin didepannya. Aku tak mau terlihat seperti orang marah.
“Sorry yah sekali lagi, kau bawa baju ganti tidak? Atau kau mau pakai jasku saja untuk menutupi gaunmu yang kotor?” tanyanya dengan lembut. Aku jadi tidak enak menolaknya.
“Eh? Tidak apa-apa gitu? Nanti kau mau pakai apa?” tanyaku. Aku masih tidak enak dengan kelakuan baiknya.
“Ohh itu, aku masih ada baju ganti kok.” Katanya. Lalu ia pun melepas jasnya dan memberikannya kepadaku.
“Makasih banyak yah, maaf merepotkan.” Kataku.
“Ohh, justru aku yang harusnya meminta maaf karena telah mengotori gaunmu. Maaf banget. Aku permisi dulu yah, ada perlu.” Katanya dan pergi meninggalkanku.
“Oiya, namamu sia…pa?” tanyaku, namun laki-laki itu tidak mendengar pertanyaanku. Hm, aku harus bagaimana supaya bisa mengembalikan jasnya tanpa mengetahui namanya. Semoga keberuntungan selalu berada di pihakku.
(ARISA)
“Umai.” Kata Ryosuke saat mencicipi kue buatan aku dan dia.
“Haha, kan bikinnya pake cinta. Laughing out loud banget itu.” Kataku menyindir sembari tertawa, ia hanya mencibir.
“Tumben yah masakannya bagus.” Kata Ryosuke balas menyindir.
“Eeh, emang biasanya juga bagus kan? Kau saja yang tidak tahu, kau kan sibuk mengobrol dengan Aiko.” Kataku asal. Namun aneh juga kedengarannya tiba-tiba aku membahas Aiko, raut wajah Ryosuke pun berubah.
“Ohh gitu.” Katanya datar.
“Eeto, maksudku bukan itu, anoo…” aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Dengan tatapan dingin, Ryosuke pun mencolek krim ke wajahku. Spontan aku berteriak.
“Ryosuke Yamada!! Awas kau yaaa!” kataku, membalas keisengannya itu. Kami tertawa bahagia.
(AIKO)
“Bajumu kenapa kotor?” Tanya bibiku saat pesta hampir usai.
“Ooh ini, tadi aku tidak sengaja menumpahkan sirup saat aku minum.” Kataku berbohong.
“Lain kali jangan diulangi yah.” Kata bibiku.
“Aiko masuk dulu yah, sudah larut malam dan capek juga.” Kataku.
“Ooh iya, kamu tidak mau menonton band dulu?” Tanya bibiku. Aku hanya menggelengkan kepala , aku sudah capek sekali hari ini. Aku pun pergi ke kamar dan mengunci pintu. Aku tak tahu bahwa band yang tampil adalah band laki-laki yang kujumpai tadi.
(ARISA)
“Satu..dua..tiga..empat..satu..duaaa!.” kataku sembari melakukan senam ketika tak sengaja dikagetkan oleh Ryosuke.
“Haha.” Ryosuke hanya tertawa singkat. Aku hanya menatapnya sinis.
“Puas kamu hah! Puas?!” kataku.
“Huu, so’-so’an acting marah gitu, emang bagus gitu? Mau jadi artis yah nanti?” kata Ryosuke menyindir.
“Hah, bisanya kau menyindir saja, memang tak ada hal lain yang tidak bisa dikerjakan apa?” kataku, balas menyindir.
“Kau jadi jago menyindir karena diajarin siapa sih?” Tanya Ryosuke.
“Yaa, siapa lagi kalo bukan sama orang yang hobinya menyindir, wee—“ kataku, meninggalkan Ryosuke yang sedang melihat kepadaku sambil melipat kedua tangannya.
(AIKO)
Aku terbangun karena sinar matahari yang menerpa wajahku. Aku pun bangun dan menyegerakan untuk bersiap-siap menuju kampus. Tak sengaja aku melihat jas itu dan teringat kepada laki-laki baik hati itu. Hm, semoga saja aku bisa bertemu dengannya agar aku bisa mengembalikan jas ini.
Bibiku menyuruhku sarapan namun aku tak mau, sebagai gantinya aku dibawakan bekal oleh bibiku, aku hanya menurut saja. Aku pun berpamitan dan segera pergi karena aku tak mau terlambat sampai kampus.
Berangkat ke kampus – belajar- mengejar-ngejar dosen untuk tugas praktikum dan pulang. Itulah keseharianku saat terdapat jadwal di kampus. Hidupku seperti untuk belajar dan belajar. Di universitasku ini, mahasiswa dituntut untuk sudah bisa menerapkan ilmu aplikasi(yang padahal dosen terus menerus memberikan ilmu teori, nol persen untuk ilmu aplikasi) dan itu memang sulit. Untuk itu, tak banyak waktu yang bisa kuluangkan hanya untuk bermain.
Aku berdiri, berpikir sambil memandang jas laki-laki itu yang kutaruh di kursi belajarku. Aku pun mengambilnya. Parfum baju yang mungkin lebih mirip baunya dengan parfum badan, masih saja lengekt di jas itu. Aroma maskulin, enak sekali baunya. Aku merogoh saku jasnya, bisa saja ada petunjuk yang bisa menunjukkan siapa pemiliknya. Aku menangkap sesuatu didalam saku jasnya. Kartu mahasiswa. Aku mengamati dengan teliti setiap tulisan. “Nakajima Yuto”
(ARISA)
“Aaah, lama-lama aku bisa gila hanya karena tugas ini.” Keluhku. Aku memang kurang bisa kalau disuruh membayangkan suatu objek, dan sialnya itu ditugaskan. Karena lelah, aku pun menyelipkan kertas tugasku di buku dan menyalakan internet. Disana aku bisa mencurahkan perasaanku semuanya dan semaunya. Tak lupa aku mengganti layout blogku yang sudah lama kupakai.
Hari ini Aiko online. Aku ingin mengobrol dengannya.
Arisa : Halo Aiko, lama tak jumpa
Aiko : Ahaha, iya sama, bagaimana kabarmu?
Aku diteriaki mamaku untuk makan malam bersama. Aku pun segera turun ke bawah dan menikmati makan malam, aku meninggalkan chat bersama Aiko. 30 menit kemudian, ketika aku sudah selesai menikmati makan malam, aku pergi ke kamarku untuk melanjutkan obrolanku dengan Aiko.
Aiko : hey, bagaimana kabarmu?
Aiko : hey, bagaimana kabarmu? Lagi apa?
Aiko : Hey gimana kabarnya nih?
Arisa : Iyaiya sabar, habis makan malam, hm, baik selalu kok,bagaimana denganmu?
Aiko : Iya baik juga, kabar Ryosuke bagaimana?
Arisa : Baik juga, dia sudah makin mahir menyindir tuh, kadang aku kesal.
Aiko membalasnya dengan sangat lama. Aku tidak sabar dan mulai kesal.
Arisa : Aiko? Aiko? Are you there?
Aiko : Ahh iyaiya, ooh itu, hm, tidak usah terlalu dipikirkan yah, dia memang seperti itu.
Arisa : Iyasih, mungkin sebaiknya dibiarkan saja. Makasih yah nasihatmu itu selalu manjur.
Aiko : Haha, samasama.
Arisa : Aiko, aku off dulu yah, makasih nasihatmu nih, oyasumi…
Aiko : Oyasuminasai, watashi no tomodachi.
(AIKO)
“Nama Nakajima Yuto, Universitasnya New Y..ork University?” aku memandang lekat-lekat tulisan itu. Aku terbelalak. Aku mengulanginya sekali lagi. “New York Uni..versity?” kataku, itu tidak bohong. Ternyata Nakajima Yuto itu satu kampus denganku.
Akhirnya aku menemukan identitas laki-laki itu. Hm, tidak terlihat paras Jepangnya, ia lebih mirip paras Amerika dengan hidung mancung, bibir tipis dan pipi tirus. Fuuh yokatta, tuhan masih memberiku keberuntungan berupa kemudahan.
Aku lupa menyebutkan kalau Nakajima Yuto itu belajar di fakultas hubungan internasional. Gedung fakultas kami tidak begitu jauh karena ruangan fakultas kami berada di dalam satu gedung. Saat pembelajaran telah usai, aku pun memberanikan diri untuk pergi menemui Nakajima Yuto itu. Ah, tidak sulit mencarinya. Ia sedang duduk dekat jendela sambil membaca buku. Awalnya aku tak berani masuk tetapi..
“Kau cari siapa?” Tanya seorang laki-laki yang melihat kepadaku, mungkin ia melihat aku sedang mencari-cari seseorang.
“Ooh, aku cari..cari Nakajima Yuto, dia ada disini?” tanyaku, padahal sudah tahu Yuto sedang duduk sambil membaca buku.
“Ada tuh, Yutoo, ada yang mencarimu.” Kata laki-laki itu.
Nakajima Yuto pun menghampiri laki-laki itu, memberi isyarat ada apa, dan menoleh ke arahku.
“Ooh, kau mencariku?” tanyanya, mungkin sedikit aneh denganku. Laki-laki itu pergi dari tempat kami akan berbincang.
“Ahh iya, aku mencarimu. Hm, aku mau mengembalikan jasmu yang kupinjam 2 hari lalu.” Kataku, lalu menyerahkan jas yang daritadi kupegang.
“Oh iya, jangan-jangan kau cewek yang itu yah? Hm, maaf yah atas perbuatanku kemarin.” Katanya lalu tersenyum kepadaku. Aku sedikit tersipu.
“Ahh gapapa, tenang saja, lagian itu sudah berlalu.” Kataku membalas senyumannya.
“Ohh ya, darimana kau tahu ini adalah jasku?” katanya, menaikkan sebelah alisnya pertanda heran.
“Soalnya kau menaruh kartu mahasiswamu di saku jasmu.” Kataku.
“Wah iya? Pantas saja kartuku hilang, hahahaha, hm, makasih ya. Boleh tau namamu siapa?” tanyanya. Hm, agak kaget dia tiba-tiba ingin mengetahui namaku. Nakajima Yuto mengulurkan tangannya pertanda berkenalan.
“Namaku Watanabe Aiko, panggil saja Aiko.” Kataku membalas uluran tangannya.
“Nakajima Yuto, kau boleh memanggilku Yuto.”
(ARISA)
“Hei Yuma.” Kataku sembari menyapa Yuma yang sedang berjalan menuju kampus.
“Hei Ris, waah ternyata kita satu universitas yah?” kata Yuma dengan nada datar.
“Ahaha, iya yah, padahal udah satu bulan lebih disini, tapi baru sadar sekarang, aku juga baru sadar kok. Oya, bagaimana kabar ibumu? Lalu kau tinggal dengan siapa disini?” kataku dengan pertanyaan yang macam-macam. Yuma bertindak biasa saja, sepertinya ia tahu kebiasaanku, maklum kami pernah bersahabat cukup lama.
“Ibuku baik-baik saja, kadang menanyakan kabarmu. Kubilang sih baik-baik saja. Aku tinggal di apartemen kecil, lumayan jauh dari sini, aku mencari yang murah soalnya, kau tahu kan kondisi perekonomianku seperti apa.” Jawabnya.
“Waah, kapan-kapan kita bisa share bareng lagi yah? Hm, ngomong-ngomong kau sudah kenal dengan Ryosuke belum?” kataku.
“Yang waktu pas sehabis ujian ngobrol denganmu? Aku ingat mukanya tapi kami belum kenalan.”
“Nanti deh aku kenalin kamu ke Ryosuke. Pasti dia senang karena dia punya kenalan baru di kampus ini.”

to be continued
feel free to comment this story, thank you :)

curhatan panjang edisi 1

Sebelumnya bagi yang merayakan hari Imlek saya ucapkan 'Selamat Tahun Bau Imlek yang ke-2557' yah? atau udah berubah? saya tidak merayakan soalnya. Saya senang hari Imlek karena pernak-perniknya yang khas dan merah merah menyala, juga ada barongsai :)
Baru saja saya mengetikkan pesan dan kemudian dibalasnya, awalnya dengan kata sopan dan bermaksud menanyakan sesuatu kembali namun dijawab dengan nada agak tinggi dari sebelumnya. Baru memulai hari baru saja sudah berbuat seperti itu, bagaimana dengan waktu-waktu lain?
Terlalu gampang menyebutkan kata-kata yang seharusnya tidak boleh digunakan, baru saja menghampiri, mencela dengan nada tinggi, dijawab dengan nada sedikit rendah dan terkesan santai, dibalas dengan kata-kata kasar itu.
FUCK YOU!
pengen banget bilang gini : "lu ngatain gue fuck? lu tau gak sebenernya lu sendiri mitnah diri lu!" (kata-kata ini belum pernah ada sinkron dari pikiran ke mulut)
untung berada dalam emosi stabil sehingga hanya mendengar dan tidak terjadi perdebatan.
saya tahu saya belum mengerjakan apa-apa, padahal saya berada dalam jabatan paling penting dalam suatu acara tapi tidak usah berlebihan juga memarahi dengan cara seperti itu. Memangnya saya harus setiap kali kontrol? mengapa kalian juga tidak mau curhat ke saya tentang acara ini? atau karena saya TIDAK PERNAH datang pertemuan? (perlu digarisbawahi karena disitu saya memang tidak pernah datang) jangan-jangan para pelaksana itu belum tahu saya menjabat posisi paling mengancam? saya saja tidak pernah mengobrol dengan ketua pelaksana, mungkin ketua pelaksananya pun tidak tahu saya. Saya ingin bantu, ingin sekali malah, tapi jika dengan cara sebelumnya saya tidak tahu apa yang harus saya bantu, hei kalian?! saya tidak bisa mengontrol setiap harinya, saya tidak pernah diajak ngobrol dengan kalian hei para pelaksana?! saya pun tahu, saya sebenarnya TIDAK berada DALAM satu organisasi keislaman yang besar. Saya hanya penggemar islam saja. tapi hey, saya juga menjabat di lain pihak yang berhubungan dengan itu, apa karena saya TIDAK ikut bergabung dalam organisasi itu sehingga saya MERASA diacuhkan? lagi-lagi mengandalkan orang yang sama? apa karena saya TIDAK sebagus pekerjaannya? anda itu sudah mengenal saya berapa tahun? saya dan anda pernah mengalami nasib yang sama saat latihan mencapai kelogisan itu, apa mungkin anda malah makin dekat dengan orang yang anda tahu, anda kenal? berarti makin diacuhkan saja orang yang baru saja dikenalinya. harusnya dari sanalah anda mengetahui SIKAP dan PERILAKU saya, sehingga anda bisa fleksibel menghadapi saya. Apa anda sudah putus asa menghadapi saya yang tidak tahu harus diperlakukan seperti apa?!
ataukah saya perlu menjelaskan secara rinci mengenai SIKAP dan PERILAKU saya? mau seberapa panjang? saya mau kok membuatnya asalkan anda bisa memahaminya dan TIDAK mengeluarkan kata-kata yang lebih kasar yang pernah anda katakan kepada saya.
Untuk itu saya simpulkan, ANDA BUKAN TEMAN SAYA, karena kalau anda teman saya, anda sudah pasti tahu sikap saya seperti apa, walaupun abstrak setidaknya itu sudah menjadi penggambaran sifat.
Itu BUKAN tempat saya. Saya tidak merasa nyaman berada disana. Saya nyaman berada di tempat dimana saya klop dengan teman-teman satu pemikiran saya, sehingga saya tenang menghadapi semua yang akan dilakukan dan yang harus dilakukan. Saya sudah mulai kebal dengan tatapan ramah palsu sekumpulan orang-orang asing itu yang berada diluar sana. Saya akan memilih melarikan diri dari tempat asing dengan cepat karena saya tidak punya teman satu pemikiran dengan saya. Saya capek, muak, lelah, harusnya hidup ini saya jalani dengan sebaik-baiknya tapi saya malah mengeluh dan berniat menjauhinya. Semoga saja ini cobaan yang tidak pernah saya lupakan.